Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Kita Memaafkan Sesuatu yang Tidak Termaafkan?

31 Juli 2019   16:55 Diperbarui: 31 Juli 2019   17:04 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku "Forgiving the Unforgivable: Menyembuhkan Luka Memupuk Welas Asih" (dokumentasi pribadi)

Kalau kalian mau tahu darimana kebijaksanaanku tadi, kalian bisa ikut membaca buku berjudul Forgiving the Unforgivable: Menyembuhkan Luka, Memupuk Welas Asih karya Afthonul Afif. Buku ini diterbitkan oleh Buku Mojok pada bulan Juni. Bulan lalu.

Ketika membuka halaman buku ini untuk pertama kalinya, aku mengira ini semacam kumpulan esai tentang proses memaafkan seseorang. Ternyata aku salah! Buku ini lebih mirip buku diktat kuliah: pemaafan dan teori-teorinya. Lengkap juga dengan referensi yang bisa kita telusuri lebih lanjut.

Walaupun begitu, aku tidak merasa salah beli buku, sih. Sebab buku ini memberi aku wawasan tentang pemaafan. Bagaimana agama memandang pemaafan, bagaimana pemaafan itu dari segi psikologi, apa dimensi pemaafan, bagaimana proses memaafkan seseorang sehingga kita bisa hidup dengan lebih nyaman, dan banyak hal lainnya.

Yang pasti selesai membaca buku ini, aku merasa masalahku remeh banget. Ya donk, dibandingkan dengan keluarga korban Tragedi 1965 atau keluarga jamaah Ahmadiyah, masalahku dengan beberapa orang itu nggak ada apa-apanya. Tapi kenapa sih aku nggak bisa memaafkan orang-orang yang (menurutku) sudah menyakitiku? Kenapa aku nggak bisa berbicara baik-baik dan mencoba meredakan amarahku?

Bukannya aku nggak berusaha, tapi kadang melihat orang-orang yang bersikap 'bodo amat' amarahku berkobar lagi. Sering aku berfikir, mau sampai kapan sih emosiku dikendalikan orang lain? Namun mengelola emosi memang tidak semudah itu.

Dalam buku setebal 242 halaman ini disebutkan jika dalam ilmu psikologi, salah satu yang dibutuhkan dalam setiap pemaafan adalah keberanian korban untuk jujur di hadapan pengalaman penderitaannya yang paling berat. Salah satu unsur penting dari pemaafan adalah mengomunikasikan penderitaan. Dengan mengomunikasikan bahwa ada yang terluka, korban (orang yang dirugikan dalam satu hal) memberi kesempatan pada pelanggar (orang yang bersalah sehingga harus dimaafkan) untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahannya.

Masalahnya, kita berbicara dengan manusia, ya kan. Pemikirannya ada bermacam-macam. Ada memang pelanggar yang kemudian insaf dan berusaha meminta maaf dengan tulus lalu berupaya untuk tidak mengulangi perbuatannya yang menyakitkan korban. Namun, ada juga yang tidak sadar. Kalau dalam kasusku (sehingga aku masih menyimpan energi emosi pada orang tersebut), pelanggar malah berkata, "dih, gitu aja tersinggung."

Hal itu yang kadang menjadi bahan bakar kemarahanku untuk orang itu. Makanya, walaupun begitu, kita tetap harus mampu mengelola batin kita (hal yang sampai sekarang belum bisa aku lakukan dengan baik). Di agama-agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, seorang korban diminta untuk memberi maaf dengan lapang dada. Bahkan, di agama Kristen pemaafan tidak mensyaratkan adanya penyesalan dari pelaku pelanggaran.

Jika boleh aku berkata, agama-agama ini berfokus supaya pemulihan korban tidak bergantung pada orang lain. Korban harus bisa menata hati dan pikirannya tanpa terpengaruh oleh orang lain. Sayangnya, itu adalah hal yang sangat tidak mudah. Kita butuh waktu yang lebih lama dan dukungan positif dari orang-orang di sekitar kita untuk bisa pulih. Dan yang harus menjadi perhatian, kita jangan sampai membuat kesalahan yang sama dengan orang yang sudah melukai kita. 

Di akhir buku tersebut, dikatakan bahwa memaafkan yang tidak termaafkan menjadi sesuatu yang nyaris mustahil ditempuh karena kita adalah manusia biasa yang rentan tersakiti dan tersandera luka (dan itu sangat betul!). Namun kita harus mengupayakan pemaafan karena kita butuh pulih dari luka, memiliki hubungan yang baik dengan orang, dan masa depan yang lebih cerah.

Balik ke temanku tadi, aku tidak berharap dia berusaha memaafkan suami dan mertuanya sekarang. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah menerima kondisi luka batinnya dan menyembuhkannya. Bukan dengan mengalihkan fokusnya, namun menemukan jalan keluar untuk masalahnya. Sehingga dia bisa pelan-pelan meredakan gejolak emosi dan membuat dirinya sendiri menjadi lebih nyaman.

Dia dan aku, harus punya pilihan jalan yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun