"Katanya kalo pake KTP harus jam 12, Pak. Ini masih jam 11," kataku.
"Enggak apa-apa. Sekarang aja. Udah sampai di sini, kok," kata orang itu.
"Saya nggak nyoblos juga nggak apa-apa, Pak," kataku berusaha setulus mungkin. "Saya di sini cuma nemenin Allan, kok."
"Bisa, kok, Mbak," ujar orang tadi berusaha meyakinkanku. "Kami dari pihak desa sudah mendata warga dengan benar. Kami lakukan pemutihan dan pembaharuan DPT. Cuman masalahnya orang KPUD nya kayaknya males dan kerjanya asal-asalan. Jadinya kacau. Ada yang dapat 2 undangan, ada yang nggak dapet. Akhirnya, kami yang diprotes warga."
Aku manggut-manggut mendengar cerita orang itu.
Ya gimana ya? Hal seperti ini ibarat kita sedang berlari estafet. Ada satu bagian yang tidak beres, kacau sudah tatanannya. Dan yang paling enak disalahkan, ya orang yang dekat dengan kita. Siapa lagi?Â
Akhirnya, aku tahu bahwa orang yang menyuruhku mendaftar dengan KTP adalah ketua KPPSnya. Baiklah, aku kemudian mendaftar dengan KTP, mendapatkan kertas suara, dan menyoblos.
Nasibku lebih baik dari Bu Cucum yang mengalami hal serupa. Namun, ini seharusnya menjadi catatan KPU. Kemarin, Pak Tjip menulis artikel berjudul 'Tuntut PPLN Bekerja Profesional, Pemilih Juga Sebaiknya Introspeksi Diri'. Beliau menceritakan pengalamannya mengikuti pemilu di Australia. Nampaknya, bukan hanya PPLN saja yang perlu dituntut untuk bekerja profesional. Petugas KPPS sampai KPU juga harus bersikap profesional. Kasihan orang yang sudah bersemangat seperti Bu Cucum harus kecewa karena tidak ikut 'berpesta'.