Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buku Donasi dan Amanat untuk Merawatnya

6 November 2018   19:18 Diperbarui: 7 November 2018   14:47 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribun Sumsel - Tribunnews.com

"Mei... Mei... Mei...," panggil seorang teman di sebuah festival kebudayaan.

Aku menolehkan kepalaku. Di belakangku, aku melihat sosok pemilik suara yang memanggilku. Setelah saling menanyakan kabar dan basa-basi ke sana ke mari, dia kemudian menceritakan sesuatu yang mencengangkan.

Beberapa waktu yang lalu, temanku ini, sebutlah namanya Cantik, dia berkunjung ke sebuah perpustakaan masyarakat yang pengadaan bukunya pernah kami bantu. Secara sekilas, Cantik menanyakan buku-buku yang ada di perpustakaan itu. Betapa terkejutnya Cantik ketika tahu buku-bukunya dipinjam oleh seorang relawan untuk kelengkapan akreditasi sekolah tempatnya mengajar.

"Hari berikutnya, hari Sabtu, hari libur gue, gue diem di rumah buat ngepoin itu sosial medianya perpustakaan itu dan relawan-relawannya. Dan ketemu donk, "Siapa yang "ngambil" itu buku-buku," kata Cantik dengan menggebu-gebu.

www.educenter.id
www.educenter.id
Cantik kemudian menyodorkan ponselnya padaku. Saat aku lihat, itu adalah profil relawan yang meminjam buku untuk keperluan akreditasi sekolah tempatnya mengajar. Aku hanya mengangguk-angguk. Ya mau apa? Aku juga tidak kenal.

"Nih, yang ini profil sekolahan tempat orang itu ngajar. Emang sekolah kayak gini nggak sanggup beli buku, ya?" tanya Cantik.

"Sanggup apa nggak sanggup beli buku itu tergantung prioritas, sih," jawabku sekenanya.

Sekolah tersebut adalah sekolah swasta milik yayasan. Di data pokok milik Kemendikbud, sekolah ini memang ditulis belum terakreditasi. Nampaknya, sekolah ini memang sekolah baru karena SK operasionalnya terbit tahun 2016. Baru 2 tahun berjalan. Dari luar, sekolahan itu nampak biasa saja. Tidak menyedihkan sehingga perlu dibantu. Tidak pula tampak megah. Sekolah seperti itu saja.

"Gue boleh bilang ini sebagai pembajakan buku-buku donasi, nggak sih?" tanya Cantik serius.

"Serius amat, sih?" komentarku.

"Mei, kamu inget nggak sih kita ngumpulin sebagian besar buku yang akhirnya mengisi rak-rak di perpustakaan itu? Udah kayak orang ngemis, lho. Terus sekarang seorang yang merasa relawan di tempat itu dengan enteng aja "minjem" buat kepentingan pribadi dia. Kecuali ada hitam di atas putih, buku ini dipinjamkan selama sekian lama dan dikembalikan dengan utuh tanpa kurang apapun. Kemudian sekolahan tersebut memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih. Itu baru masuk akal. La kalau pinjem-pinjem aja? Yang bener aja donk, Mei...." cerocos Cantik panjang.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

***

Beberapa hari kemudian, aku berbincang dengan seorang teman yang mengelola perpustakaan masyarakat di Kabupaten Bandung Barat, yang aku panggil Bibi. Aku menceritakan kejadian tadi dengan cepat dan meminta tanggapannya.

"Temen kamu pantes marah, kok, Mei," kata Bibi. "Kamu juga kalau mau marah boleh. Relawan pengelola perpustakaan masyarakat seharusnya punya batasan yang tegas. Itu barang milik pribadi atau milik komunitas. Kalau enggak, ya kacau. Itu nanti tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan uang donasi untuk kepentingan pribadi. Aku aja, ada saudaraku yang mau minta buku untuk tugas sekolah anaknya enggak aku kasih, lho. Ya karena buku-buku di sini bukan punyaku. Ini punya perpustakaan."

Aku kemudian terdiam lagi.

***

Sebenarnya, agak risih juga mengungkit masalah ini. Sebagai donatur, agak pamali juga membahasnya. Karena akan ada pertanyaan: jadi lo ikhlas nggak sih ngasih buku itu?

Jawabannya, aku ikhlas. Selama buku-buku itu memang digunakan dengan sebagaimana mestinya. Dibaca oleh masyarakat sekitar perpustakaan, diadakan bedah buku oleh pengelola perpustakaannya, dan lain sebagainya. Intinya, buku-buku itu dibaca oleh masyarakat, dijaga oleh pengelola yang bertanggung jawab, dan dicintai oleh semua orang. Kalau ternyata buku itu digunakan untuk kepentingan pribadi oleh relawannya, ya jelas aku tidak ikhlas. Dia bukan orang yang perlu diberi buku gratis. Apalagi untuk kepentingan tempatnya bekerja. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Karena aku tidak ada, aku akan menjadikan ini sebagai pelajaran saja.

Hikmah dari kejadian ini, aku rasa, aku akan lebih selektif dalam memberikan donasi buku. Pastikan administrasi buku-buku itu sudah baik dan perpustakaan memiliki peraturan yang tegas dengan buku-buku mereka. Pastikan juga, kegiatan membaca di perpustakaan tersebut sudah berjalan dengan baik. Mungkin, mereka harus punya juga rencana akan diapakan buku-buku ini kalau perpustakaannya bubar.

Cantik bahkan akan mempertimbangkan lagi kegiatannya membagi buku gratis. Menurutnya, karena didapat secara gratis, maka buku-buku di perpustakaan itu menjadi tidak berharga. Tidak diinventaris dengan baik. Dia akan tetap menggalang donasi buku, namun itu harus diberi harga. Murah tidak apa-apa. Yang penting ada harganya. Uangnya bisa digunakan untuk membeli buku murah lagi atau untuk biaya kirim. Pokoknya jangan gratis.

Dibilang tidak ikhlas, memangnya aku peduli?

Di beberapa tempat, aku melihat taman bacaan yang bukunya tidak didata. Buku datang diletakkan di rak atau ditumpuk dalam kardus. Kemudian, orang datang dan mengacak-acak buku-buku tersebut. Pengelola kemudian membereskannya tanpa tahu apakah ada yang hilang atau tidak.

Mengelola perpustakaan yang isinya adalah buku-buku donasi seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan butuh konsistensi yang tinggi. Buku-buku tersebut adalah amanat. Jadi menurutku, tidak pada tempatnya kalau digunakan untuk kepentingan pribadi. Apa ganjaran untuk orang yang tidak melaksanakan amanat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun