Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Cacing Tanah

14 Juli 2018   14:29 Diperbarui: 14 Juli 2018   17:44 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Kayaknya, kami akan kembali menjadi cacing tanah," kata Purdy sambil merenung.

Kala itu, aku dan Purdy sedang menikmati udara menjelang siang di menara pemantauan Gunung Merapi di daerah Kaliurang Kabupaten Sleman. Purdy bukan nama yang sebenarnya tentu saja. Purdy adalah sosok seorang ibu yang bijaksana di novel serial The Bliss Bakery. Purdy memiliki 4 anak yang aktif, penuh ide, dan sedikit eksentrik. Namun Purdy mampu mengarahkan anak-anaknya untuk selalu melakukan hal yang positif.

Kawan yang aku panggil Purdy, kurang lebih sama. Dia memang baru memiliki seorang balita yang sangat aktif, tapi di rumahnya, Purdy membuka taman bermain dan belajar bagi anak-anak di kampungnya. Anak-anak yang belajar di rumah Purdy adalah anak-anak yang secara finansial kurang beruntung namun memiliki semangat besar untuk belajar dan penuh ide.

"Cacing tanah itu tidak dilihat orang, Mei," katanya. "Tapi cacing tanah bisa menghasilkan nutrisi-nutrisi di tanah yang diperlukan tanaman untuk tumbuh. Tanaman tumbuh menjadi makanan untuk manusia dan hewan. Aku rasa memang itu peran pendidik dan pegiat literasi. Menjadi cacing yang tinggal di dalam tanah untuk menghasilkan nutrisi-nutrisi awal kehidupan."

Purdy sudah membuka rumahnya untuk bermain dan belajar anak-anak yang tinggal di sekitar situ selama bertahun-tahun. Beberapa bulan yang lalu, Purdy dan suaminya diajak bekerja sama oleh sebuah yayasan besar yang ingin memajukan dunia literasi. Namun di tengah jalan, Purdy merasa apa yang dilakukan oleh yayasan itu tidak sejalan. Apapun kegiatan yang dilakukan oleh Purdy, harus menjadi atas nama yayasan tersebut. Beberapa keberhasilan yang dilakukan oleh Purdy diklaim oleh yayasan sebagai efek dari bantuan yayasan pada Purdy. Unit usaha yang digunakan oleh Purdy untuk menghidupkan tempat bermain dan belajarnya, disiarkan yayasan sebagai kegiatan Purdy memajukan perekonomian warga. Itu semua, membuat Purdy merasa tidak nyaman. Di tambah lagi, yayasan tersebut kemudian bekerja sama dengan pemerintah daerah yang sebagian besar orangnya terkenal korup.

Benar kata orang Jawa yang suka memperingatkan orang dengan paribasan-nya. 'Ojo cedhak-cedhak kebo gegupak' katanya. Karena setiap perbuatan kotor itu lebih cepat menular. Nyatanya, alih-alih mengakali orang-orang yang korup tersebut supaya bisa punya niat lurus, relawan yayasan tersebut malah terbawa permainan orang-orang korup itu. 'Prestasi' dan ketenaran sepertinya menjadi keinginan relawan yayasan dan orang-orang pemerintah. Tidak masalah orang lain yang bekerja keras yang penting, aku harus dianggap orang punya andil dalam hasil yang diraih orang lain itu. Dan hal ini membuat Purdy bertambah gerah.

"Kamu tahu apa yang dirasakan orang ketika ada cacing tanah yang muncul di permukaan?" tanya Purdy sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup sejuknya angin perbukitan. "Jijik."

"Kita sebagai pendidik, pustakawan, dan fasilitator belajar anak-anak harusnya bukan fokus untuk menunjukkan diri kita atau show up," kata Purdy. "Fokus kita adalah bagaimana kita mengelola bahan-bahan supaya jadi nutrisi. Menyediakan fasilitas untuk masyarakat belajar, menyaring buku-buku yang berkualitas, dan menyediakan aktivitas menyenangkan yang bisa menambah pengetahuan mereka. Yang muncul di permukaan jelas bukan kita. Anak-anak dan masyarakat lah yang harus muncul di permukaan. Menunjukkan bahwa diri mereka mendapatkan asupan nutrisi yang baik. Nama kita tidak perlu dibawa-bawa oleh mereka, tentu saja. Tunjukkan dengan hasil dan prestasi yang mereka dapat untuk diri mereka sendiri saja sudah cukup."

"Tapi, kalau kamu dan taman belajar yang kamu kelola tidak show up, bagaimana kamu mendapatkan donasi untuk kegiatan kamu?" tanyaku.

Yang dikatakan Purdy memang benar. Masalahnya, kadang kita tidak bisa berjalan sesuai dengan idiologi kita kan?

"Kenapa harus dapat donasi?" tanya Purdy sambil tersenyum. "Dari awal aku mempersilakan anak-anak bermain di rumah itu atas keinginan aku sendiri. Jadi, untuk biaya operasional kegiatan di sini ya aku usahakan sendiri. Kamu lihat toko roti yang aku kelola? Aku sudah menyisihkan keuntungan toko roti buat beli buku, alat peraga, dan keperluan taman belajar lainnya. Untuk sebuah kegiatan mulia, aku tidak mau jadi pengemis."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun