Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pahala Sembahyang dan Dosa Tidak Menjaga Bebrayan Sosial

15 Maret 2016   06:06 Diperbarui: 15 Maret 2016   06:43 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku baru selesai membaca buku Cak Nun yang berjudul Gelandangan di Kampung Sendiri pada bab Bersalaman dengan Gadis Gila ketika aku duduk-duduk santai sambil menonton TV bersama bidan di klinik tempatku bekerja pada suatu siang di hari Sabtu yang lengang.

Saat itu kami menonton acara infotainment yang menayangkan keluarga geng halilintar solat bersama. Bagi yang belum tau, keluarga geng halilintar adalah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan 11 orang anak. Entah kenapa keluarga ini sering masuk di acara infotainment di TV. Mungkin salah satu dari anggota keluarga itu adalah seorang selebritis.

“Bagus mereka ni, punya anak banyak tapi dirawat sendiri.” Kata Bu Bidan.

Perhatianku yang awalnya terfokus ke TV menjadi menoleh ke arah Bu Bidan.

“Kalau ustad-ustad di sini, punya anak banyak tapi gak ada yang diurus sama mereka. Biasanya, anak-anaknya yang ngurus kerabatnya. Paman, bibi, siapalah.” Lanjut Bu Bidan.

“Masak sih, Teh?” tanyaku tak yakin.

“Iya, mereka mah kerjaannya berdoa, berdzikir, dan beribadah aja.” Jawab Bu Bidan.

Gak tau sih, aku mah percaya gak percaya dengan informasi yang diberikan oleh Bu Bidan. Tapi gak mungkin Bu Bidan berbohong untuk masalah seperti ini. Ingatanku lalu melayang ke buku yang ditulis oleh Cak Nun itu. Di paragraf akhir, beliau menulis, ‘lebih berat mana kah takaran antara pahala tidak menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara bebrayan sosial?’

Kalau aku sampai ketemu ustad yang diceritakan oleh Bu Bidan, bakal aku tanyain, “Lebih berat mana sih pahala terus sembahyang dibanding dosa menelantarkan anak?”

Aku lalu teringat pada sebuah cerpen yang ditulis oleh AA Navis dengan judul Rubuhnya Surau Kami. Cerpen itu bercerita tentang seorang penjaga masjid yang bunuh diri setelah mendengar cerita dari seseorang. Apa yang diceritakannya?

Jadi, suatu saat di akhirat, seorang bernama Haji Saleh dimasukkan ke neraka oleh Tuhan. Haji Saleh ini gak terima dimasukkan dalam neraka karena sepanjang hidupnya sudah dia habiskan untuk bersembahyang dan beribadah tiada hal lain yang dikerjakannya selain beribadah. Lalu Tuhan berkata, “kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Lalu karena masih penasaran dengan bentakan Tuhan, Haji Saleh lalu bertanya pada malaikat apakah dia salah karena sembahyang?

Malaikat menjawab, “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”

Aku lalu bercerita pada ayahku tentang ini. Kenapa seorang ustad malah bisa bertindak seperti itu.

“Denger ya Meta, gak semua orang itu sama.” Kata Ayahku pada akhirnya. “Navis dan Cak Nun itu mereka adalah budayawan. Dibanding ibadah-ibadah ritual, mereka lebih mengedepankan interaksi sosial. Dan yang kamu harus tau, orang yang bisa menerima pemikiran mereka itu orang-orang yang moderat. Kayak kamu. Kalo orang kayak ustad Itu gitu gak bisa terima mereka. Mereka dicap sesat sama orang itu.”

Aku lalu membayangkan Ustad Itu, seorang ustad yang menurutku kolot di daerah tempat tinggal ayahku. Semua hal serba bid’ah di mata ustad itu. Dan semua hal yang kulakukan adalah salah juga di hadapannya. Ustad itu, jarang sekali bersosialisasi dengan tetangganya sehingga tak jarang menjadi bahan gunjingan.

Sebetulnya, pada akhirnya, kita sendiri yang menentukan. Apa yang akan kita lakukan di dunia. Apakah mau menyaingi malaikat dengan hanya bersembahyang saja ataukah melakukan sesuatu yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun