Pebruari selalu menyimpan gelora yang puitis di sela-sela debarannya, kanvas bunga dalam lingkaran kaca begitu akrab dengan debu dan kerudung ungu yang selalu jatuh di pojok pintu, seutuh gambarnya tersenyum menopang dagu.
"Ingatanku belum pudar, Indar." Jawabnya semalam, sewaktu kutanyakan perihal kebun bunga yang kami tanam setahun lalu.
"Tapi hujan masih semi di pekarangan kita, Ndre. Aku malah sangat kesulitan menyabit rerumputan setinggi ilalang yang sudah liar di taman belakang, tidakkah kau rindu pulang untuk sekadar menggantinya dengan bunga mawar?" Kudengar ia mendesah di balik telepon genggam. Setelahnya, percakapan kami terputus.
***
Aku masih terduduk di jok depan, bunga sakura yang terpajang di antara mainan dan boneka berbagai ukuran, menghidupkan kembali suasana riang antara aku dan Tami. Wajah bulatnya yang lucu, rambut ikalnya, matanya redup seperti peri tidur, juga celotehannya yang selalu ingin tahu adalah sumber kebahagiaanku yang tiada ternilai.
"Bunda..., hari ini Yanda pulang kan?" Ia melongo dari pintu dapur saat aku tengah membuat adonan roti panggang untuk persiapan kepulangan Andre dari rantau. Sejak Tami tumbuh berkembang, aku memutuskan untuk tinggal di desa beberapa bulan, sedang Andre tetap di kota, karena pekerjaan dan tugasnya.
"Iya sayang, Tami main di depan gih! Ntar, boleh ikutan bunda belanja ke pasar,"
"Horeee ... aku pingin ngasih hadiah special buat ayah, Bunda," sahutnya berlarian keluar. Aku cuma geleng-geleng kepala membalas ocehannya. Terbayang, suasana hangat berbaur dalam canda riang saat perjumpaan. Seperti janji Andre, kami akan diboyong ke kota di rumah kami yang katanya, begitu kusam seakan tak berpenghuni tanpa kreatifitas tangan perempuan. Aku sangat tersanjung dengan perhatian dan kasihnya untuk aku dan Tami.
***
Aku baru selesai ganti baju saat terdengar suara jeritan dari belakang, gerakanku terasa lamban begitu kusadari itu suara Tami, peri kecilku. Sembari mendekte ulang aneka peristiwa yang luput dari perhatianku, aku baru ingat aku menjerang air dan lupa mematikan kompor.
Seakan tak sadar aku merangsek ke depan, gelombang pekat sudah menghalau penglihatanku. Pijakanku mulai goyah sebelum kupastikan gempa sedahsyat apa yang tengah melemaskan persendianku, benar saja, kusaksikan Tami tergolek di lantai. Di atasnya, panci itu tergeletak. Dan ... Tami!
***
Tak kuasa, kudekap boneka kecil Tami. Sejak kepergiannya senyap melingkupi jalanku, apa yang kumiliki seolah telah terenggut bersama kenangan yang dia tinggal di lembar putih, terkubur bersama jasadnya. Aku dapat memahami sehitam apa kebencian yang ditunjukkan Andre padaku atas kelalaianku menjaga amanahnya, dan aku harus rela merejam luka itu seorang diri hingga duabelas purnama berlalu.