Mohon tunggu...
Meilanie Buitenzorgy
Meilanie Buitenzorgy Mohon Tunggu... Dosen - Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prediksi Hasil Gelar Perkara Ahok

14 November 2016   10:33 Diperbarui: 14 November 2016   18:20 20172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari itu Kamis  3 November 2014. Sepulang sekolah, anak saya yang duduk di kelas 1 SMA bertanya.

“Bun, memangnya Ahok ngapain? Tadi teman-teman rohis di sekolah heboh, katanya besok mau ikut demo Ahok di Jakarta.”

Saya pun menjelaskan secara singkat bahwa huru-hara terjadi karena Ahok mengatakan “......Bapak-Ibu dibohongi pakai Al-Maidah 51....” dalam pidato di kepulauan Seribu.

“Hah? Serius? Gitu doang? Aku kirain Ahok bakar Quran….,” komentar anak saya terheran-heran.

Saya bukanlah ahli agama, bukan ahli hukum pidana, bukan pula ahli bahasa. Namun melalui tulisan ini, saya ingin mengupas masalah penistaan agama dengan menggunakan dua konsep dasar dalam ilmu statistika yaitu bias dan signifikansi. Dari sini, di akhir tulisan saya akan mencoba memprediksi hasil gelar perkara kasus Ahok yang akan dilaksanakan besok (Selasa 15 November 2016).

Bias penistaan agama

Perkara penistaan agama tidak sama dengan perkara kriminal biasa seperti korupsi, pembunuhan atau permerkosaan dimana tingkat kerugian korban dapat diukur secara obyektif. Penistaan agama berkaitan dengan perasaan. Yang bisa merasakan, hanyalah pihak yang dinistakan. Bagaimana cara mengukur kerugian dengan indikator perasaan?

Contoh paling anyar adalah kasus penurunan patung Budha di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai. Patung Budha diturunkan karena lebih tinggi dari kubah masjid. Bayangkan jika hal sebaliknya terjadi. Kubah masjid harus dipangkas karena lebih tinggi dari vihara, atau gereja, atau pura. Bagaimana kira-kira reaksi (sebagian) umat Islam?

Contoh lain adalah kasus penyebutan “Lebaran Kuda” oleh mantan presiden SBY. Ketika hari suci umat Islam dilekatkan dengan binatang, adalah aneh bin ajaib, umat Islam yang berdemo tanggal 4 November kemarin tidak merasakannya sebagai penistaan agama. Mari kita bayangkan, andainya kata-kata “Lebaran Kuda” keluar dari mulut Ahok. Kira-kira apa yang akan terjadi?

Karena didasarkan atas perasaan, soal penistaan agama bersifat sangat subyektif. Segala sesuatu yang bersifat subyektif pasti akan mengandung bias yang tinggi. Dari contoh-contoh di atas, soal penistaan agama paling tidak mengandung dua sumber bias.

Bias pertama, soal penistaan agama tergantung dari siapa yang membuat pernyataan penistaan. “Lebaran Kuda” bukan penistaan agama jika dikatakan oleh SBY, tapi (mungkin) akan menjadi penistaan agama jika dikatakan oleh Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun