Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Matahari Terpenjara

22 September 2021   21:12 Diperbarui: 23 September 2021   13:34 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari menyapa pagi. Mencipta hari. Terik cahaya membakar hati. 

Seberkas cahaya mendarat di bumi. Tak bermaksud lama mendiami negeri. 

Hanya datang untuk memberi energi kepada tanaman petani. Lalu kembali pergi, menjauhi bumi. 

Di jalanan asap-asap karbon bertebaran. Di pegunungan, kami melihat kebakaran hutan. 

Di sudut negeri, mesin-mesin industri, melepas sisa-sisa api. Udara tak lagi bersih. 

Di halaman rumah beton. Tanah pun berselimut beton. Matahari gagal mencumbu tanah. Memantul pergi, tanpa penonton.

Asap dan gas membangun penjara kaca. Tak perlu jeruji besi untuk menangkap matahari. 

Matahari menangis.  Batal kembali ke langit. Meninggalkan bumi. 

"Bukannya aku takut, tiada kembali. Tapi aku takut bumi menjadi panas sekali," Ucapnya dalam terpenjara di bilik bumi kaca. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun