Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Separuh - Fatamorgana Sorga

11 Juni 2022   20:08 Diperbarui: 11 Juni 2022   20:42 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

FATAMORGANA SORGA

Jika saja ditanya perihal cemburu, orang yang memiliki kecemburuan yang misterius adalah Kaka. Saat aku melihat dan mengakui bahwa keadilan itu memang benar-benar tidak ada di dalam keluarga ini, dan kami hanya diam. Serta-merta berusaha mengakui ketidaksangupan kami menyaingi apa yang telah mereka berikan.

Kami hanya bisa bercermin dan berusaha membalik cermin itu agar tampak semua menjadi baik-baik saja. Jika orang membeli sesuatu dengan uang, kami hanya berusaha membeli keadilan di dalam rumah ini dengan kasih sayang. Jika mencintai masih juga di sakiti, itu sudah menjadi rahasia untuk Tuhan membalasnya dengan sesuatu yang setimpal dikemudian hari.

Namun, adakalanya dengan apa yang kami miliki meskipun sedikit. Setiap rejeki yang singgah ke kantong Kaka selalu secara tidak langsung kuoperkan secara diam-diam ke gentong persediaan beras, air, dan juga kuali sayur. Tidak seperti orang lain, aku tidak membenci wajah-wajah yang menatap kami secara asing. Karena kami cukup benci jika melihat wajah kami yang tidak cukup memberi.

Sementara ini, kemarahan, kekecewaan cukup mengelora di dada kami saja. Semua kembali berjalan sebagaimana kami bisa melampahinya. Rumah ini tetap berwarna merah, papan nama hanya bertulis nama mereka yang berjaya. Bapak, ibu, dan juga adik lelakinya, Zainul. Desember tetap dengan hujannya. Kaka tetap menjadi kuli panggul di pabrik kayu, aku masih bergelut dengan malam dan aroma rokok dari mulut para pecinta perempuan. Siang hari, aku memilih menjadi perempuan biasa yang tunduk dengan ketidakadilan keluarga. Saat malam, mencoba mencium fatamorgana sorga dalam cerita-cerita Kaka.

Persoalan baru muncul, yaitu saat Ibu sakit. Kaka yang tidak berdaya dicerca habis-habisan hingga menembus ulu jantungnya. Tidak siang, tidak malam di rumah ini hanyalah rumah tungku berapi, yang terus membara. Jika angin kencang bertiup sedikit saja, menyala dan terus menyala. Seperti siang ini, kedatangan Tante Marlin adik perempuan dari ibu tidak hanya membawa sekeranjang buah, melaikan juga membawa segerobak kata sampah. Sepertinya tungku di rumah ini memang benar-benar masih menyala, setelahnya cukup ampuh menghadirkan api.

"Coba saja Kaka dulu tidak terburu menikah, mungkin saat ini kau tidak hanya rebahan di ranjang sederhana dan makan obat-obatan dari dokter sekelas Puskesmas, Yuk," katanya culas.
"Belum lagi kebutuhan-kebutuhan dapurmu tentu saja selalu tercukupi."
Perempuan berambut keriting sebahu itu terus saja memasukan sampah keperapian. Ibu cukup diam, tetapi dapat kupastikan kata-kata itu telah singgah dipikirannya.

"Nasi sudah jadi bubur, Mar." Ibu duduk memposisikan tubuh sejajar dengan kepala adiknya.
"Emang dasar perempuan kegatelan itu saja yang sudah menjampi-jampi ponakanmu itu, hingga terkintil-kintil," bisiknya dengan suara sedikit ditekan. Mungkin ibu menyadari aku masih berada di dapur memasak air untuk minum adiknya itu.

Pusing aku mencari cara untuk bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Sampai berbagai pekerjaan rumah kulakukan. Memandikan ibu, memasak, mencuci pakaian seluruh anggota keluarga. Namun, tetap saja yang tampak hanya kegelapan. Tak ada bagus-bagusnya aku di mata mereka.

Lambat waktu, secara pasti Kaka semakin menarik diri. Tak ada lagi semangat mengebu, dan harapan yang manis untuk terus melihat dan menjaga sorga yang ada di dalam rumah ini. Mulanya aku berpura-pura tidak menyadari. Melihatnya duduk malas di bangku depan kamar atas, menghabiskan waktu setiap sorenya.

Sementara aku sibuk mengecek kalau-kalau ada ketidakberesan dengan kesehatan ibu sebelum aku tinggal pergi bekerja di cafe ujung jalan komplek tempat tinggal kami. Yang ada hanya tatapan kekecewaan semakin menggunung setiap harinya di kedua mata Kaka. Agar lebih meyakinkan atas penilainku, seperti burung camar di atas langit senja ini. Aku mengelus ujung pipi luar dan menanyakan sesuatu yang membuat dada bergemuruh gelisah akhir-akhir ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun