Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perlintasan Ngesong-Kupang (Surabaya 2014)

20 Oktober 2021   14:49 Diperbarui: 20 Oktober 2021   14:56 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada masa berseragam merah-putih, aku pernah melempar penghapus papan tulis pada guru olahraga. Bukan tanpa sebab. Belum kelar pelajaran olahraga aku harus buru-buru menyudahi pelajaran itu karena ketidaksehatan jiwa guruku itu harus kupertanyakan di ruang BK(bimbingan konseling). Otakku yang tumpul mulai mengasah kesadaran, menuntut kewajiban untuk merawat apa yang sakit. 

Sekuat tenaga aku menahan tuntutan kewarasan. Hingga ketika guru olahraga itu begitu menikmati kehormatan dari seorang perawan kencur, menjadikan lambang kesucian itu seperti gumpalan daging busuk. Sontak, tanpa interupsi kuambil penghapus di sudut papan tulis dan kulemparkan tepat di wajahnya. Aku masih memiliki akal sehat, jika aku pun ikut menikmati apa yang saat ini disantapnya. Maka aku harus mendapatkan hukuman, bukankah sudah menjadi kebiasaan anak di bawah umur dilarang melakukan tindakan asusila. Hal itu yang harus dihindari lelaki kecil sepertiku. 

Seisi kelas menjadi hening. Guru olahraga itu tidak bicara sepatah kata pun lalu pergi ke kantor. Aku pun ikut terdiam, sementara teman-teman dan juga perawan kecil yang beberapa waktu lalu pantatnya begitu indah di mata guru dewasa itu, menjadi takut dan tidak ingin melanjutkan menulis sehuruf pun di papan hitam di hadapannya.

Aku tak pernah melupakan hal-hal sepele seperti itu. Yang menorehkan goresan dalam di perjalanan hidup. Justru aku mengarsipkannya dengan baik dalam otak kecilku. Aku yakin, kelak ingatan itu akan hadir membantuku menjadi manusia yang baik. Lihat beberapa waktu itu matahari tidak bersinar terang bagi kehidupanku. Aku telah menjadi seorang anak yang melakukan tindakan tidak bertata krama kepada orang tua, meskipun aku berteriak kejujuran yang kuyakini, tetapi satu keyakinan tidaklah cukup menawar kegelapan yang menutupi keberanian orang-orang yang merasa terancam kedudukannya karena satu kejujuran. 

Bulanlah yang membawaku ke sini. Di jalan perlintasan Ngesong-Kupang. Tak ada yang berbeda dari sebelumnya, ketika aku berada di makam cina 'Kembang Kuning'. Sensasi dingin dan getaran membuat langkahku berhenti. Aku tidak sendirian. Maksum dan istrinya Mundira adalah kawanku. Meskipun dalam kesempitan, aku tak pernah melewatkan berbagi kebaikan. Bagiku membantu sesama tidaklah harus menunggu menjadi seorang bajingan besar. 

Adalah sesuatu yang sarkas untuk kulakukan. Aku tidak menanyakan perihal Maksum dan Mundira, ia seorang yang fasih mengaji dan mengamalkan ayat-ayat doa. Namun demikian mereka memilih duduk bersamaku, di antara perempuan-perempuan suci. Perempuan yang diberhalakan para lelaki pesakitan yang terabaikan. Terabaikan kasih sayang, perhatian, kehormatan dan terabaikan rasa syukur atas segala kenikmatan hakiki yang telah diperolehnya daripada kenikmatan fana yang meluah. 

Manusia ... sehormat-hormatnya aku pada diriku. Adalah lebih hormat lagi kepada orang yang mampu mensyukuri apa yang telah diperolehnya dari kebahagiaan ruhi, sejati. Dari tumpukan harta, tahta, dan cinta sesama manusia. Fana ....

Sungguh itu kekeliruan semata. Derajatku sebagai seorang lelaki, seorang suami yang menghidupi anak cucuku kelak di suatu hari nanti. Sedang kupertaruhkan dengan waktu dan tempat. Serta persoalan-persoalan ekonomi dan tingkat tindak kriminal asusila dalam sistem kehidupan saat ini. 

Sebelum semua menjadi tumpukkan kenangan, tinggal nama tanpa wujud. Sebuah koran dan majalah memberitakan tentang seorang walikota perempuan yang merasakan pelecehan di dunia perlintasan Ngesong-Kupang. Bagaimana kehormatan perempuan digagahi, diinjak-injak oleh kaum lelaki yang kehilangan jati diri dan menukar harga diri mereka dengan beberapa lembar uang dalam semalam. 

Sungguh menyedihkan lagi adalah banyak perempuan-perempuan itu yang akhirnya berkeliaran membawa satu persoalan, kemiskinan dan menyebarkan persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata 'yang terbaik'

Darahku tiba-tiba meruap. Betapa tidak kekerasan kekuasaan ini sesaat lagi akan menelanjangi tubuh pesakitan yang ada padaku, Maksum dan Mundita. Dan masih banyak lagi pesakitan yang berada di bawah atap yang sama 'lokalisasi' yang tidak berketuhanan yang maha esa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun