Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Penyair dan Sajak-sajak Kematian

16 Oktober 2021   01:36 Diperbarui: 16 Oktober 2021   22:32 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi penyair. (sumber: unsplash.com/@raduflorin)

"Tak-tik-tak," suara burung di dalam sangkar mengingatkan sang penyair pada rutinitasnya kemarin-kemarin. Sang penyair tersenyum, "ada-ada saja burung bisa bersuara mesin ketik."

Dia teringat beberapa waktu lalu salah satu cerpennya dimuat di sebuah media online. Cerpen yang menceritakan tentang penyair yang menikahi kematian. Tulisannya itu dimuat tanpa menunggu lama, Satu bukti lagi cerita tentang cinta, kesepian, dan patah hati masih memiliki daya pikat di mata pembacanya.

Mereka tidak tahu bagaimana jalan sebuah cerita dituliskan, perasaan apa yang tertulis, tidak semerta-merta rekaan saja. Perlu pembelajaran khusus sehingga pembaca bisa terhanyut dalam menyingkap kata per kata. Tapi ia bisa apa selain hanya menuliskan cerita kesedihan, patah hati, dengan kesendiriannya, karena hanya dengan cerita-cerita itu dia bisa makan. 

Sang penyair terduduk di halaman rumah, dengan beberapa sangkar burung bergelantungan di sudut-sudutnya. Sementara motor keluaran terbaru perusahaan otomotif terkenal di negara ini, terparkir cantik di halamannya yang luas.

Cantik dan bersih, motor itu sudah mandi bahkan sebelum sang penyair menggosok gigi. Kemarin-kemarin di jam seperti ini biasanya ia sedang sibuk menjerang air untuk secangkir kopi sebagai peneman selinting rokok pemberian sang bapak sebelum pergi ke ladang. Kini tidak lagi. 

Ia bersiul-siul mengiringi lagu Scared to be lonely yang terdengar dari dalam kamar. Satu set alat musik itu kini menjerit sendirian. Sementara kata-kata terlempar begitu saja. Sang penyair tak lagi punya waktu untuk memungut, atau sekali saja membantunya merangkai sebuah kata.

"Mas, bisa antarkan aku ke pasar?" 

Seorang perempuan muda tersenyum manja menggelayut di pundaknya yang kosong.

"Oke, siapa takut." 

Sang penyair bersungut penuh semangat. Tak lupa di hadiahkan satu cubitan lembut di dagu sang perempuan muda. Gambaran pagi yang menyenangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun