Setiap dari manusia, tanpa bisa dipungkiri tentu memiliki kecenderungan untuk mencintai harta dan benda, yang dinilai akan mendatangkan kebahagiaan duniawi. Islam sebagai agama universal, pada dasarnya tidak melarang manusia untuk mencari kebahagian dunia, selama hal itu berada dalam koridor syariah dan tidak melampaui batas batas yang telah ditetapkan. Penegasan dalam Alqu'ran (28:77) bisa dijadikan referensi untuk menjelaskan hal tersebut.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Jika ditelaah secara terperinci, ayat ini menerangkan tentang konsep tujuan hidup manusia. Islam memandang bahwa kehidupan dunia dan akhirat bukanlah dua hal yang saling bertentangan, sehingga jika yang satu dikerjakan, maka yang lain tertinggalkan. Tidak tepat jika dikatakan bahwa orang yang sedang bekerja untuk mencari harta guna memenuhi kebutuhan hidupnya, kemudian dikatakan sedang meninggalkan urusan akhirat. Sebaliknya tidak dibenarkan pula seseorang hanya beribadah di dalam masjid saja, kemudian meninggalkan kewajiban sosialnya sebagai manusia.
Ayat di atas menjelaskan, bahwa hendaknya segala sesuatu yang dikerjakan manusia berorientasi pada kehidupan akhirat yang sifatnya kekal, bukan semata mencari dunia yang fana. Sehingga ketika ia mendapat harta dari hasil usahanya, harta itupun akan dia infaq kan untuk investasi kebahagiaan akhiratnya kelak. Ketika ia berkeluarga, maka keluarganya akan diajak untuk taat dan patuh secara totalitas terhadap urusan agama. Saat ia menduduki jabatan sosial ataupun politik, akan dia manfaatkan untuk kemaslahatan agama. Demikian pula setiap langkahnyapun akan ia usahakan untuk jauh dari hal hal yang dilarang oleh agama.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan redaksi "janganlah kamu melupakan bahagiannmu dari dunia" adalah hendaknya manusia tidak lupa bahwa Allah juga menghalalkan kepadanya makan dan minum (yang tentunya halal dan baik), berpakaian yang pantas, memiliki tempat tinggal yang layak, membangun keluarga dsb. Karena sebagaimana ada hak Allah dalam harta manusia, ada pula hak manusia di dalamnya, ada hak keluarga, anak dan istrinya pula di dalamnya.
Salah satu batasan syariah yang diingatkan dalam ayat di atas adalah terjadinya kerusakan di atas bumi. Agama memperingatkan bahwa jangan sampai usaha manusia untuk mengumpulkan materi, membawa mereka kepada keserakahan sehingga menimbulkan banyak kerusakan di atas muka bumi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tanggungjawab manusia sebagai khalifah yang diwajibkan untuk mengelola bumi dengan baik. Maka jika hal ini terjadi ada konsekuensi adzab dan siksa dari Allah SWT.
Â
MENCARI HARTA HARUS BERLANDASKAN IMAN DAN TAQWA
Perintah agama kepada manusia dalam mencari harta dan benda adalah agar hendaknya setiap usaha tersebut dibangun di atas pondasi iman dan taqwa (Al Quran, 7:96). Keimanan dan ketaqwaan tersebut dijelaskan akan menjadi sebab dari kelancaran rizeki. Sementara sebaliknya menanggalkan keimanan dan meninggalkan ketaqwaan berdampak pada turunnya adzab sebagaimana yang diceritakan dalam ayat tersebut.
Iman adalah kunci dari kesuksesan usaha. Iman pula yang meyakinkan manusia bahwa setiap dari mereka sudah memiliki jatah rizeki dari Allah. Sehingga ketika ia bekerja, maka kerjanya akan ia niatkan semata mata menjalankan perintah tuhannya. Begitupula ketaqwaan adalah faktor dari kemudahan mencari harta dan kelapangan dari setiap ikatan permasalahan  (Al Qur'an, 65:2-3). Ketaqwaan yang maksimal akan menghadirkan rasa takut dalam diri manusia kepada tuhannya. Ia akan menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya senantiasa dalam pengawasan tuhannya. Sehingga ia selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan dari-Nya. Sikap yang demikian ini dijanjikan akan mendatangkan rizeki baginya dari arah yang tiada disangka sangka.
Hal ini berarti bahwa rizeki manusia, sebenarnya termasuk pula di dalamnya kesehatannya, kebahagiaannya, kelancaran urusannya, tidak adanya tekanan dalam hidupnya, dan hal hal lain yang terkadang luput dari perkiraannya. Semua itu termasuk ke dalam kategori rizeki yang wajib disyukuri. Bilamana ia bersyukur, maka akan bertambahlah kenikmatan kenikmatan itu (14:7). Â Â