Mohon tunggu...
Medina MeccaZy
Medina MeccaZy Mohon Tunggu... Guru - Nona

Si Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayang, I Love You ....

28 Januari 2020   14:48 Diperbarui: 1 Februari 2020   14:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: Pinterest)

Bayiku menangis. Aku yang sedang berada di lantai bawah, segera menaiki tangga. Menuju kamar di mana aku meninggalkannya sekitar setengah jam yang lalu, setelah memastikan dia terlelap.  "Oh, Sayang. Haus, ya? Sini-sini Bunda gendong." Tangisnya mulai reda, meski pipi gembulnya masih memerah dan basah. Kontras dengan warna kulitnya yang pucat.
Aku mengusap wajahnya dengan lembut, lalu memberinya ASI. Mata bulat yang terhias bulu mata panjang dan lentik itu mengerjap-ngerjap kecil. Kini tangisnya benar-benar sudah reda. Sambil menyusuinya, aku menepuk-nepuk dengan pelan pahanya supaya dia merasa semakin nyaman.

Sambil duduk--masih dengan bayiku dalam gendongan--aku mengingat peristiwa sepekan yang lalu. Kejadian yang membuatku tak habis pikir jika di dunia ini ternyata ada wanita sejahat dirinya. Dia wanita cantik dan masih muda dengan gaya rambut diikat mirip ekor kuda. Saat pertama kali datang dibawa oleh seorang petugas agen penyalur baby sitter, dari bibirnya yang tipis keluar sebuah janji. Bahwa akan menjaga dan menyayangi bayiku sepenuh hati.

"Aku titipkan bayiku kepadamu. Tolong jaga dia baik-baik," pintaku. Dia mengangguk pasti, membuatku sangat percaya kepadanya saat itu. Kami--aku dan suamiku--pun memperlakukannya dengan baik. Memberinya perhatian juga upah yang cukup.

"Saya punya kekasih di sini, Bu. Dia bekerja sebagai buruh bangunan. Dia juga berjanji akan menikahi saya secepatnya," jelasnya malu-malu saat aku bertanya apakah dia punya orang spesial? Aku hanya ingin lebih dekat dan mengenalnya.
 
"Aku belikan ini untukmu. Kamu ingin pergi bersama dengan kekasihmu besok malam, 'kan? Kami mengizinkan. Kamu boleh libur bertugas dari sore hari. Biarkan Dedek kami yang mengurus. Tapi ingat, jangan pulang malam-malam, ya, dan jaga diri baik-baik." Aku bahkan sudah menganggapnya seperti adik sendiri, agar dia pun memperlakukan bayiku sama baiknya. Awalnya, dia enggan menerima, tetapi kemudian berterima kasih saat sebuah gaun indah berwarna peach berpindah ke tangannya. Saat itu, dia baru sebulan bekerja.

Namun, wanita tanpa lesung pipi yang gemar mengoleskan krim pemutih wajah berlebihan itu nyatanya ingkar janji, juga seperti melupakan semua kebaikan yang aku beri. Aku menemukan bayiku lebam-lebam di pipi, pelipis kiri, bahu sebelah kanan, juga punggungnya. Aku menjerit, memanggil nama bayiku berulang-ulang saat itu.

"Dia sangat berisik, menangis terus, jadi aku pukul saja supaya diam. Aku sedang ingin menghubungi kekasihku lewat ponselku," jawabnya santai saat diinterogasi oleh dua polisi wanita.

Dasar psikopat! Masih sempat-sempatnya dia mengulas senyum miring setelah tega menyakiti bayiku. Bahkan sebelum digelandang ke kantor polisi, dia sempat melukis alisnya supaya terlihat tebal dan memakai pewarna bibir. Perempuan gila! Mungkin dia berpikir akan bisa merayu seorang sipir di dalam penjara sana.

Aku jadi sangat murka, dan andai saja tidak ingat ada hukum di negeri ini, ingin kuhabisi manusia macam dia.

Namun jujur, hati kecilku juga merasa sangat bersalah di sini. Demi beberapa lembar rupiah hasil bekerja di sebuah kantor swasta, aku pertaruhkan keselamatan bayiku kepada orang yang belum tentu akan baik menjaganya.

Maafkan bunda, Sayang.

Bayiku kembali terlelap. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Alisnya tebal, mirip ayahnya. Bulu matanya panjang nan lentik, itu warisan dariku. Bibirnya tipis dan berwarna peach, juga serupa bibirku. Rambutnya keriting, mungkin ini ciri khasnya sendiri. Di usianya yang baru tujuh bulan, dia sudah mulai belajar merangkak. Warna kulitnya saat sehat adalah putih segar.

Oh, Kesayangan Bunda. Bayi perempuan yang cantik. Pemilik separuh bahkan sepenuh jiwaku. Bunda janji akan menjagamu selalu mulai saat ini. Tak akan aku izinkan satu tangan pun bisa melukainya lagi mulai sekarang. Aku berjanji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun