Reformasi sistem evaluasi pendidikan di Indonesia kembali mengalami transformasi dengan peralihan dari Ujian Nasional (UN) menuju Tes Kompetensi Akademik (TKA). Perubahan ini menimbulkan diskursus akademik terkait efektivitas dan implikasi kebijakan pendidikan nasional.
Konsep TKA, yang akan diterapkan mulai 2026 untuk jenjang SD dan SMP serta diujicobakan pada November 2025 untuk SMA/SMK, diklaim sebagai instrumen asesmen yang tidak lagi berfungsi sebagai determinan kelulusan, melainkan sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan.
Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah TKA sekadar pergeseran nomenklatur atau representasi dari paradigma baru dalam evaluasi pendidikan?
Diskursus ini menyoroti sejumlah aspek krusial: (1) validitas TKA sebagai indikator pemerataan pendidikan, (2) kapasitasnya dalam mereduksi tekanan psikologis akibat ujian standar, dan (3) kesiapan institusi pendidikan dalam mengadopsi sistem baru ini.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji aspek teoritis dan empiris terkait efektivitas TKA dalam ekosistem pendidikan nasional serta implikasinya bagi kebijakan pendidikan dalam jangka panjang.
TKA dan Evaluasi Kualitas Pendidikan, Reorientasi Paradigma atau Pergantian Formatif?
Historisnya, sistem evaluasi pendidikan di Indonesia berorientasi pada high-stakes testing, di mana hasil ujian dijadikan faktor determinan dalam keberlanjutan akademik siswa.
Kritik terhadap UN berpusat pada aspek rigiditasnya, yang dinilai tidak merepresentasikan kemampuan holistik peserta didik.
Dalam konteks ini, TKA diklaim menawarkan model asesmen yang lebih diagnostik, dengan tujuan mengukur capaian pembelajaran dan menjadi dasar perumusan kebijakan pendidikan berbasis data.
Namun, jika TKA hanya bersifat sumatif tanpa konsekuensi langsung terhadap siswa, efektivitasnya sebagai alat diagnosis pendidikan masih menjadi perdebatan.
Dalam kerangka evaluasi pendidikan berbasis bukti (evidence-based assessment), pemanfaatan hasil asesmen harus diikuti oleh intervensi strategis guna mengurangi disparitas pendidikan.