Ramadan selalu datang seperti tamu agung yang membawa keberkahan, namun sering kali aku lalai menyambutnya dengan sepenuh hati.
Setiap tahun, ia mengetuk pintu jiwaku, mengajakku kembali pada fitrah, mengingatkanku bahwa waktu terus berlalu dan aku masih terombang-ambing dalam perjalanan menuju-Nya.
Di setiap azan Maghrib yang berkumandang, di setiap tarikan napas menjelang sahur, aku sadar bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah kesempatan emas untuk memperbaiki diri dan mendekat kepada-Nya.
Namun, aku tak ingin Ramadan hanya menjadi persinggahan sesaat yang berlalu tanpa bekas. Aku ingin Ramadan tahun ini menjadi titik balik, menjadikannya bulan di mana aku benar-benar merasakan kedekatan dengan-Nya, bukan sekadar terjebak dalam rutinitas ibadah yang kosong makna.
Aku ingin Ramadan mengajarkanku bagaimana mencintai Allah lebih dalam, bukan hanya di bibir, tapi di dalam hati dan tindakan. Aku ingin hari-hari Ramadan bukan sekadar diisi dengan menahan lapar dan dahaga, tetapi dengan menemukan kedamaian sejati dalam keikhlasan dan ketakwaan.
Setiap kali Ramadan datang, aku merasakan seolah ada tangan lembut yang mengusap jiwaku, mengajak aku untuk kembali. Aku ingin menjawab panggilan itu dengan kesungguhan, dengan hati yang terbuka.
Aku ingin Ramadan kali ini tidak hanya menjadi ritual yang berlalu begitu saja, tetapi benar-benar menjadi pijakan dalam perjalanan spiritualku yang masih panjang.
Menemukan Cahaya di Keheningan Malam
Ramadan adalah bulan di mana langit malam menjadi saksi tangisan hamba-hamba yang merindu. Dalam keheningan tahajud, aku ingin menyusuri jalan sunyi menuju-Nya, mencurahkan segala resah dan gelisah, merajut doa dengan sepenuh hati.
Betapa sering aku lalai dari-Nya, membiarkan kesibukan dunia menjauhkan aku dari dzikir dan sujud yang mendamaikan.
Malam-malam Ramadan bukan hanya tentang menahan kantuk untuk berdiri dalam tarawih, melainkan tentang bagaimana aku bisa merasakan kehadiran-Nya dalam setiap rukuk dan sujud.