Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengindahkan Narasi Tunggal dapat Sebabkan Pembentukan Persepsi yang Menyesatkan

17 April 2018   22:55 Diperbarui: 18 April 2018   21:21 2937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: kennis.simac.com

Beberapa belas tahun lalu ....

waktu hape masih poliponik, internet masih putus nyambung, belum segampang sekarang cari tahu segala macam informasi tinggal sentuh layar ....

Pertama kali akan menginjakkan kaki ke Negeri Sakura, dalam bayangan saya waktu itu: orang Jepang banyak memakai kimono, atau pakaian yang etnik. Mereka banyak tinggal di rumah-rumah tradisional, dengan pintu geser. 

Kalaupun ada gabungan modern dan tradisional itu palingan seperti suasana di perumahannya Nobita dan Suneo, dan suasana kota di setting film Ultraman.

Dengan bayangan itu pula, di antara baju-baju yang digantung di lemari, saya pun memilih beberapa baju batik dan etnik untuk dibawa. Selain itu saya juga menelepon Eggy yang kakaknya sudah pernah pergi ke Jepang. 

Eggy dengan polosnya memberikan sebuah saran ajaib yang bikin saya lebih deg-degan lagi saat mau pergi ke Jepang pada saat itu. "Bawa pembalut wanita! Takutnya di sana cuma ada tampon lho. Bawa aja buat jaga-jaga." WHAT? Apakah peradaban Jepang aslinya lebih mirip film Oshin daripada film Doraemon?

sumber: shutterstock
sumber: shutterstock
Sesampainya di Jepang pada waktu itu...JRENGG! Tentu saja kekhawatiran Eggy tidak terbukti... di sana segala macem merek dan bentuk ada.

Dan, yang jelas, di kota besar bahkan sulit untuk melihat rumah tradisional... Orang berkimono? Hmm.. ga adaa? Gambaran awal tentang Jepang dan ekspektasi saya bubar saat sudah sampai di sana waktu itu.

Di sisi lain, di Jepang pun saya sering dapat pertanyaan-pertanyaan yang terkesan agak meremehkan Indonesia, seperti:

"Kok kamu bisa Bahasa Inggris? Memangnya di Indonesia orang bisa Bahasa Inggris ya?"

"Oh di Indonesia ada jalur kereta ya? Pasti karena dulu Jepang pernah di sana ya."

Banyak lagi pertanyaan dan komen yang kadang agak menjengkelkan, terutama saat generasi tua Jepang berkomentar seolah berkat dijajah Jepang, Indonesia mendapatkan "manfaat" untuk menjadi lebih modern.

Pemikiran seperti ini juga didoktrinkan ke anak-anak Indonesia yang bersekolah di Jepang, tentang keunggulan Jepang dibandingkan negara-negara di Asia lainnya,terutama Asia Tenggara.

Akibatnya, beberapa anak-anak Indonesia di Jepang yang belum pernah datang ke Indonesia, membayangkan Indonesia itu negara kecil, yang jauh dari modern, yang ngga asik deh. 

Waktu saya berbincang dengan mereka dan menceritakan bahwa Indonesia mempunyai 14 ribu pulau, mereka terheran-heran! "Jadi Indonesia itu pulaunya lebih banyak dari Jepang?" tanya mereka ngga percaya.

Begitu pula dengan kisah Maria, orang Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Dia sudah lama tidak pulang ke Indonesia, dan sudah sekitar 25 tahun tinggal di jepang. 

Suatu waktu saat berkumpul dengan teman-teman orang Jepang, seseorang menyeletuk ingin berkunjung ke Indonesia. 

Tiba-tiba dengan pedenya Maria mengatakan, "Jangan, berbahaya." Ia lalu menceritakan panjang lebar ke teman-teman Jepangnya bahwa di Indonesia itu naik taksi sangat berbahaya, bisa dibunuh. "Jalan sendiri bahaya .... benar-bahaya. Saya saja takut sekali ke Indonesia," tambahnya.

Dia mengaku sering mengikuti berita via TV dan internet tentang Indonesia, dan isinya pembunuhan, perampokan, dan narkoba.

Dan itu yang ia jadikan acuan untuk menilai Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, negara besar yang pulaunya saja hampir 2x lipat banyaknya dari jumlah pulau di Jepang. 

Berita-berita tersebut dipakai untuk menggambarkan Indonesia ke orang Jepang, menafikan jutaan, atau bahkan milyaran sisi-sisi lainnya.

Di situ saya sedih dan kesal, apalagi saat saya cerita bahwa tidak seseram itu kenyataannya. Dan dia tetap ngotot bahwa dia benar bahwa mengunjungi Indonesia itu berbahaya.

Cerita dari orang-orang seperti ini lah yang menurut saya berbahaya karena mereka seolah bisa "mewakili" Indonesia, dari asal usulnya. Namun ia hanya melihat dari sudut pandang yang di-frame oleh TV and media online. 

Di TV dan media online yang diberitakan tentunya yang lagi heboh aja kan, yang menuai banyak perhatian netizen, yang isunya memang sedap untuk digoreng. 

Ga mungkin tetangga saya ngasih kue bika disorot media, atau pas abang ojek di Palmerah minjemin saya duit 50 ribu karena saya lupa ga bawa dompet trus masuk TV kan?

Cerita tunggal yang hanya dinformasikan satu arah
Semua di atas adalah contoh cerita tunggal yang sering terjejalkan ke pemikiran kita setiap hari, tentang seseorang, budaya, sejarah, negara, dsb, dari media, buku, novel, pengajaran di sekolah, dan dari sudut pandang yang ingin ditunjukkan saja. 

Selama ini kita hanya diarahkan, berulang kali, untuk mempercayai hal tersebut sebagai sebuah realita kebenaran. Lalu dengan berbekal perangkat pemikiran ini, kita akan menilai, mengasosiasikan dengan sesuatu, menentukan tindakan, yang akhirnya sering salah kaprah.

Bayangkan betapa banyak sudut yang tidak kita lihat sendiri. Betapa banyak stereotip yang muncul karena cerita tunggal tersebut, pengaruhnya, diskriminatifnya, prejudice-nya, dan segala kerugian lain yang disebabkan oleh cerita tunggal ini.

Iya cerita tunggal itu sangat menyesatkan. Seperti halnya, Eggy mengira di Jepang tidak menjual pembalut wanita. Seperti halnya, orang Jepang yang mengira di Indonesia tidak ada rel kereta api. Seperti halnya Maria mengira setiap naik taksi di Indonesia Raya bisa dibunuh. Seperti halnya juga saya yang dulu mengira di Jepang banyak orang sehari-hari memakai kimono, dan mengira semua orang Jepang jujur. Oops.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan deskripsi yang utuh?

Yang pertama, realita itu sangat sangat kompleks dan tidak mudah mendapatkan semua seginya. Namun untuk memperoleh gambaran yang mungkin mendekati realitas, kita bisa mengamati dan mengalami sendiri, membaca banyak sumber, melihat berbagai perspektif, termasuk dari sudut-sudut lain yang antimainstream. 

Contoh, jika kita ditanya ada berapa jendela di gambar bangunan ini?

Ilustrasi: dreamstime
Ilustrasi: dreamstime
Bergantung dari sudut mana kita melihatnya maka jawabannya akan berbeda-beda. 

Dari sisi atas, bangunan ini tak berjendela. Jendela pun bisa didefinisikan berbeda, sehingga memengaruhi penilaian. Dari sisi lain, ia terlihat mempunyai cerobong asap. Namun dari sisi lain ia tidak punya. 

Semua hasil pengamatan itu betul jika hanya fokus ke satu sisi saja. Tidak salah. Namun, melihat satu sisi saja tidak menggambarkan realitas bangunan ini seutuhnya.

Seorang novelis, Chimamanda Adichie menggarisbawahi hal ini, "Cerita tunggal menciptakan stereotip. Masalah dengan stereotip adalah bukan berarti hal itu tidak benar, tetapi ia tidak lengkap. Mereka membuat satu cerita menjadi satu-satunya cerita.... Bagaimana cara memberi tahu, siapa yang memberi tahu, kapan mereka diberi tahu, berapa banyak cerita yang diberi tahu, semuanya tergantung pada kekuasaan (power)." 

(Lihat video Adichie saat ia berbicara tentang "The Danger of a Single Story" di TED Global 2009. ada pilihan bahasa Indonesia juga)

Apalagi di zaman now, penting untuk lebih kritis dan berhati-hati dalam menilai dan menyimpulkan. Tidak cepat mengeneralisir sesuatu hal yang hanya kita ketahui dari "indera" orang lain, via TV dan media lainnya (apalagi yang jelas abal-abal) yang hanya berfokus pada satu atau sebagian sisi saja, di mana sisi-sisi tersebut diulang-ulang supaya terdengar benar dan meyakinkan.

Betul, ada kalanya orang Jepang berkimono. Betul, di salah satu kota di Indonesia pernah ada kejadian pembunuhan di taksi. Betul, ada daerah di Indonesia yang belum mempunyai jalur kereta api. Namun itu semua hanya se-per-sejuta dari deskripsi (dan harus dilengkapi dengan keterangan-keterangan pendukung) yang tidak bisa menggambarkan realita tentang Jepang dan Indonesia seutuhnya.

Seperti kata Adichie, "Our lives, our cultures, are composed of many overlapping stories.... if we hear only a single story about another person or country, we risk a critical misunderstanding."

Jadi mari mengulik lebih banyak segi-segi yang tak tersorot kamera. Mari bercerita....

Mutiara Me

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun