Sekali lagi, kawin usia muda tentunya berpotensi punya anak pada usia muda. Keluarga dengan pasangan muda ini juga punya risiko yang rentan muncul, baik psikis maupun fisiologis. Ketidakmatangan psikologis yang bisa menyebabkan masalah psikis dikarenakan kurang siap mental membina rumah tangga.
Terkhusus, ibu muda yang cepat punya anak, rentan mengalami sindroma Baby Blues atau depresi pasca melahirkan dan selama merawat bayinya. Baby blues atau tekanan batin berlebihan ini bisa karena banyak sebab, terlebih jika buah hatinya sangat butuh perhatian ekstra selama masa 1000 hari pertamanya.
Pasangan muda yang sudah siap menikah perlu lebih dikawal dan menjadi atensi serius secara berkesinambungan. Kesinambungan ini bermula sejak pranikah, hingga mungkin beberapa tahun pertama usia pernikahannya.
Pilihan atensi dan intervensi bagi fenomena kawin muda ini tentu banyak bentuknya. Baik melalui sosialisasi, ataupun dengan rencana aksi sistemik dan terstruktur melalui program pendidikan pranikah hingga pendampingan keluarga pada pasangan muda.Â
Yakni, melalui berbagai kegiatan parenting pembinaan keluarga dan pelatihan sejenisnya. Tentunya, banyak hal yang bisa diberikan menyangkut kesiapan mental maupun kesehatan reproduksi calon pengantin muda ini.
Paling penting, adalah akses bagi didapatinya aksi pencegahan ataupun penguatan bagi kawin muda ini. Sebuah studi akademis menyebut, praktik perkawinan di bawah umur rentan terjadi pada perempuan di pedesaan yang berasal dari keluarga miskin serta tingkat pendidikan yang rendah.
Juga, akses informasi dan fasilitasi bagi kasus terkait kesehatan mental dan reproduksi. Kelompok masyarakat marginal ini yang selama ini kesulitan mendapatkan akses dan layanan solusi perempuan berisiko akibat perkawinan usia muda.
Dalam konteks ini, keberadaan pusat konseling dan akses layanan pranikah bagi usia dini harus diperbanyak dan diperkuat. Berbagai pihak terkait yang lebih proaktif dalam menyediakan fasilitasi ini. Tidak serta merta menunggu kasus muncul, baru kemudian ditangani. (*)