Mohon tunggu...
Meha Middlyne
Meha Middlyne Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sie. Dokumentasi Handal

Berkepribadian dalam Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tataran Praktis Penanganan TPPU

29 Agustus 2020   10:00 Diperbarui: 2 September 2020   12:42 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (https://acch.kpk.go.id/)

Upaya penegakan hukum yang berlandaaskan nilai-nilai keadilan serta upaya pencapaian tujuan nasional untuk mewujudkan kesehjateraan umum bagi masyarakat. Memperlihatkan adanya kebutuhan nyata terhadap suatu sistem dalam rangka penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana. United Nations Against Corruption (UNCAC) memperkenalkan Non-Conviction Bassed Asset Forfeiture sebagai alat atau sarana yang melakukan perampasan aset tanpa proses pidana. Atas di gagasnya mekanisme tersebut, masih banyak ditemukan kelemahan dalam tataran praktis di Indonesia. Konsep KUHP dan KUHAP yang mengenal asas kepastain hukum dan praduga tak bersalah, serta vonis putusan pengadilan atas kerugian negara baru dilakukan eksekusi, tentunya patut dipertimbangkan. Objek perampasan juga pada dasarnya memiliki cakupan yang lebih luas. Mengingat bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) merupakan tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri. Sulitnya kualifikasi terhadap peralihan barang sebagai hasil dari tindak pidana tentunya akan tidak berjalan efisien bilamana perampasan aset didahulukan sebelum adanya pembuktian dari tindak pidana asal, sehingga sah atau tidaknya kepemilikan atas suatu aset juga menjadi persoalan.

Inefisiensi dan Inefektivitas Perampasan Aset Ditinjau dari Kedudukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

UU TPPU (http://www.dpr.go.id/)
UU TPPU (http://www.dpr.go.id/)

Penanganan tehadap perkara TPPU di Indonesia dilakukan tidak semata-mata untuk memenuhi efektivitas dan efisiensi seperti yang dicita-citakan melalui sistem Non-Conviction Based Asset Forfeiture.  Perampasan dengan metode Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini dapat dilakukan tanpa perlu dikaitkan dengan kesalahan terdakwa serta pembuktian kesalahan tersebut.  TPPU selalu didahului dengan terjadinya tindak pidana lain (tindak pidana asal). Hal ini ditinjau dari perspektif legalitas-positivistik dimana predicate crime merupakan syarat mutlak untuk dapat terjadinya TPPU berdasarkan UU TPPU.  Artinya, dilihat sebab perbuatan pidana pencucian uang mempunyai tujuan yaitu membersihkan uang haram dari hasil kejahatan agar menjadi uang yang sah. 

Oleh karena itu, metode Non-Conviction Based Asset Forfeiture tidak dapat diterapkan dalam TPPU, karena perampasan aset hanya dapat dilakukan apabila predicate crime dapat dibuktikan yang disesuaikan dengan tempus delicti dari masing-masing perbuatan pidana. Perampasan aset di Indonesia hanya dapat dilakukan apabila pelaku kejahatan telah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sehingga materi pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana asal tersebut dapat dijadikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang. Perampasan aset di Indonesia saat ini dijalankan melalui dua (2) mekanisme, yaitu mekanisme pidana dan perdata. Mekanisme pidana diatur melalui KUHAP, yang menempatkan perampasan aset sebagai pidana tambahan dan dijatuhkan bersamaan dengan pidana pokok. 

Perampasan aset tindak pidana dengan mekanisme pidana hanya dapat dilakukan apabila perkara pokok diperiksa dan terdakwa terbukti bersalah, maka barang yang didapatkan dari hasil kejahatan oleh pengadilan dapat ditetapkan agar dirampas oleh negara. Di sisi lain, mekanisme perampasan aset secara perdata digunakan apabila penyidik menemukan suatu perbuatan pidana tidak terdapat cukup bukti, namun ditemukan kerugian negara secara nyata. Non-Conviction Based Asset Forfeiture apabila diterapkan, tentunya harus mengadopsi suatu bukti permulaan yang cukup, sehingga penyidik dapat melakukan upaya paksa, penyitaan ataupun pemanggilan terhadap seseorang terkait dengan aset yang akan dirampas. Nantinya, kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap ketimpangan proses persidangan perdata dan pidana, dikarenakan mekanisme pembuktian yang berjalan beriringan. Serta kemudian melanggar hak asasi kemanusiaan sekaligus hak kebendaan, yang termuat dalam Pasal 28H dan 28G UUD NRI 1945, dimana setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun serta memiliki jaminan atas harta benda yang dibawah kuasanya.

TPPU dalam Ranah Bordless Crime

Bordless Crime (https://ngm.com.au/)
Bordless Crime (https://ngm.com.au/)

Pada praktiknya negara mengalami kesulitan untuk mengatasi masalah pengembalian aset apabila menyentuh ketentuan negara lain, terutama yang tidak memiliki hubungan kerjasama dengan negara tempat aset disimpan. Ditambah lagi kasus TPPU yang semakin canggih dan kompleks menyebabkan Undang-Undang a quo sudah tidak relevan untuk menindaklanjuti kasus TPPU dan menangani perampasan aset hasil tindak pidana. 

Penulis mendapatkan beberapa informasi dari Pakar IT UII Yogyakarta di bidang Cyberlaw dan kejahatan komputer, terkait kejahatan pada dunia siber sebagian besar tidak terlihat dan tidak diketahui oleh aparat penegak hukum. [Hasil wawancara dengan Dr. Yudi Prayudi, S.Si., M.Kom. di Fakultas Teknik Industri UII Yogyakarta pada tanggal 10 Maret 2020]. Kemajuan teknologi dimanfaatkan oleh para pelaku TPPU sehingga harta hasil tindak pidana tidak dapat ditelusuri, seperti pengubahan uang hasil tindak pidana menjadi uang elektronik yang tidak memiliki catatan transaksi dan nama pemilik aset. Sehingga kendala dalam pemberantasan TPPU tidak hanya terletak pada beban pembuktian yang sulit dibuktikan, tetapi juga masih banyak kegiatan pencucian yang tidak dapat terdeteksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun