Mohon tunggu...
Muhammad As ad
Muhammad As ad Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

cogito ergo sum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Obral Gelar Doktor Honoris Causa di Perguruan Tinggi Goyahkan Pancasila

26 Oktober 2021   11:10 Diperbarui: 26 Oktober 2021   11:13 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi kepada seseorang yang dianggap telah memenuhi syarat apabila jasa atau karya luar biasanya memberikan pengaruh besar bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia, hal ini menjadi sangat istimewa karena mereka yang mendapatkannya tidak perlu menempuh persyaratan akademis seperti gelar doktoral pada umumnya.

Namun, tidak semua perguruan tinggi dapat memberikan gelar Doktor Kehormatan atau Honoris Causa (H.C), hanya perguruan tinggi yang memenuhi syaratlah yang diberikan hak secara nyata untuk memberikan gelar tersebut.

Sejumlah universitas kerap mengobral gelar doktor kehormatan atau honoris causa kepada para politikus dan pejabat. Namun, pemberian gelar itu sering kali dikritik lantaran saat seleksi pemberian gelarnya dinilai tak transparan. Selain itu, ada dugaan lain soal motif politik di balik penganugerahan gelar itu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, harus mulai memperbaikinya dengan mengubah regulasi  yang mengatur pemberian gelar yakni pada UU. Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Riset dan Teknologi serta Perguruan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 tentang pemberian gelar doktor kehoratan juga harus segara direvisi.

Sebab kedua peraturan ini belum menggambarkan definisi yang jelas bagaimana pemberian gelar tersebut harus dilakukan. Pada akhirnya celah inilah yang dimanfaatkan kedua pihak, baik dari akademisi maupun yang sedang berburu gelar untuk bermain di atas hukum.

Kampus seolah-olah menjadi pasar yang menawarkan gelar bagi mereka yang bersedia membayar paling mahal demi gelar kehormatan. Sebagai tolak ukur moral publik dan kejujuran intelektual, lembaga kita yang terhormat ini tidak boleh dikotori oleh praktik pemberian gelar yang berbau kepentingan politik.

Bedakan kewajiban dengan prestasi, memanfaatkan kata pengabdian yang padahal memang pekerjaannya  dan dibayar sah secara hukum. 

Sebaiknya gelar ini diberikan berdasarkan kontribusi akademik yang jelas terhadap perguruan tinggi, kalaupun ingin diberikan maka perguruan tinggi dan politikus harus komit untuk tidak memanfaatkan kesempatan saat ada momen politik.

Hal ini tentu dapat menggoyahkan Pancasila sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara sebab sudah melanggar nilai-nilai kelima sila; nilai ketuhanan karena ketidak sadaran akan balasan yang didapat setelah berbuat keburukan; nilai kemanusiaan karena tidak memanusiakan sesama manusia seolah-olah martabat seorang doktor yang berjuang lewat jalur biasa atau umum sudah tidak dihargai; nilai kesatuan karena berpotensi memicu konflik masyarakat yang bahkan bersikap skeptis terhadap pemerintah; nilai permusyawaratan karena dalam proses pemberian gelarnya tidak transparan kepada masyarakat; nilai keadilan karena sudah mengambil hak-hak tokoh yang mempunyai kriteria lebih layak untuk menerima gelar doktor kehormatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun