Mohon tunggu...
Muhammad Dwi Adriansyah
Muhammad Dwi Adriansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa UPS Tegal

Seorang Manusia Biasa yang ingin berkarya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantaskah Kita Merdeka?

21 Mei 2018   16:17 Diperbarui: 21 Mei 2018   16:19 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Fido membuat Mbah Jalu terdiam kembali. Kali ini ia merasa bahwa perkataan Fido benar. Memang bangsa ini telah merdeka, tetapi itu hanyalah sebatas angin yang lewat begitu saja.

Petinggi negeri ini menurutnya sudah sangat keterlaluan. Mereka tidak mengerti makna sebenarnya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Yang mereka tahu hanyalah kepentingan mereka sendiri tanpa memperhatikan dampak yang terjadi kepada rakyat kecil yang semakin lama semakin menderita seperti dirinya dan Fido.

Tubuh Mbah Jalu yang semula tegang karena amarahnya yang meluap kini berangsur melemas kembali karena Mbah Jalu tidak mampu untuk menjawab argumen Fido. Mbah Jalu menghela nafas panjang dan matanya terlihat berkaca-kaca karena ia kembali teringat perjuangannya bersama dengan para pejuang lainnya pada saat masa penjajahan bangsa asing yang berkuasa di Indonesia saat ia dilahirkan.

"Fido, maafkan Mbah atas perkataan Mbah tadi. Mbah sangat kecewa saat kamu bertanya seperti itu mengingat besarnya perjuangan yang Mbah dan para pejuang lainnya lakukan untuk mengusir para penjajah dari bangsa kita ini. Bahkan bila kamu mau tahu saat kami mengusir para penjajah yang saat itu berkuasa di negeri ini pikiran kami hanya satu, merdeka atau mati. Namun Mbah sadar, memang benar bahwa bangsa ini memang sudah merdeka Fido. Hanya saja kita masih harus berjuang untuk menghadapi era dimana korupsi merajalela dan ditambah dengan keadaan ekonomi yang masih buruk" jawab Mbah Jalu sembari memeluk Fido yang saat itu masih gemetar tubuhnya karena takut kepada Mbah Jalu.

Fido hanya terdiam dengan tubuhnya yang masih bergetar. Ia masih mencerna perkataan yang Mbah Jalu katakan kepadanya. Baginya, Indonesia yang sekarang belum bisa dikatakan merdeka karena kebengisan para petinggi negara yang meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Sehingga rakyat kecillah yang menerima akibat dari para petinggi yang korup tersebut.

Rasa haru akhirnya tidak bisa Fido tahan lebih lama. Air mata menetes dari pelupuk matanya diiringi dengan tarikan nafasnya yang berat. Mbah Jalu yang masih memeluk Fido kemudian mengatakan bahwa Fido harus berjanji agar kelak dapat mengharumkan nama Indonesia dengan kerja kerasnya sendiri. Anggukkan kepala Fido menandakan kesediaannya untuk memenuhi janji yang Mbah Jalu berikan kepadanya. Di dalam hatinya Fido berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa yang sangat ia cintai ini.

"Sudahlah, Fido. Usap air matamu itu. Negara ini tidak ingin melihat putra emasnya menangis. Tetapi negara ini butuh kamu untuk maju membela dan membawa nama baiknya di mata dunia. Mbah berharap kepadamu agar kamu dapat sukses dikemudian hari nanti" kata Mbah Jalu sembari membelai rambut hitam Fido.

Fido kemudian menghapus air matanya dan mulai tersenyum kembali. Ia sangat bangga dapat hidup bersama seorang Mbah Jalu yang sangat menyayanginya dan juga menyayangi negaranya. Fido lalu mengambil tas yang ia sandarkan di dinding dekat Mbah Jalu duduk dan pamit kepada Mbah Jalu untuk pergi ke kamarnya. Setelah ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya, Fido mendengar lagu Rayuan Pulau Kelapa yang mengalun dengan merdu dari radio tua milik Mbah Jalu.

Sepuluh tahun telah berlalu, kini bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang lumayan signifikan. Peralatan-peralatan modern telah memasuki bangsa ini. Bangsa Indonesia yang dahulu masih belum mengenal apa itu teknologi modern, kini telah mengerti kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Beragam penemuan modern seperti handphone, televisi, internet, dan alat-alat transportasi kini telah menyebar luas di Indonesia.

Sepeninggalnya Mbah Jalu lima tahun silam masih membuat hati Fido menangis. Ia masih mengingat kejadian-kejadian suka maupun duka yang ia alami bersama Mbah Jalu. Ia juga masih mengingat janji yang ia tekadkan dalam hatinya saat Mbah Jalu memberikannya nasihat. Kini ia dapat membuktikannya kepada Mbah Jalu. Sekarang ia merupakan seorang dokter yang akan selalu mengabdi bagi bangsa Indonesia.

Pengobatan yang diberikan oleh Fido kepada masyarakatnya terkadang tidak dibayar dengan uang. Sebuah senyuman dan ucapan terima kasih dari pasiennya yang berobat kepadanya pun dapat menjadi sebuah materi yang tidak terhitung harganya daripada sebuah uang. Fido kini menjadi seorang dokter yang bersedia untuk tidak dibayar oleh pasiennya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun