Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wow, Masih TK? Mahir Baca?

2 April 2010   12:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:02 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_108915" align="aligncenter" width="300" caption="gini aja sudah disebut belajar tuh! source: parentingtoolbox.com"][/caption] Benarkah kita benar-benar memahami proses perkembangan kognitif anak? Sungguhkah kita memahami cara anak-anak belajar dan mengembangkan diri? Benarkah model persekolahan yang memaksa anak-anak duduk dengan kepatuhan total merupakan cara yang tepat untuk mendidik mereka? Pada usia berapa anak sesungguhnya layak untuk diajari membaca? Barangkali hipotesis yang pantas diajukan adalah: sebagian besar dari kita tidak tidak merasa yakin mempunyai jawaban yang benar-benar tepat. Setidaknya, ada dua hal pokok yang bisa saya bagikan kali ini, yaitu hakekat perkembangan kognitif anak dan masa tepat untuk belajar baca. Pertama, serangkaian penelitian menemukan bahwa kegiatan bermain yang dialami anak-anak kecil memainkan peran besar dalam perkembangan kognitif, sosial dan emosional mereka (Piaget, 1980). Main pasar-pasaran, berpura-pura melakukan transaksi, bercerita dengan begitu seru dengan sosok ciptaannya sendiri, menirukan suara knalpot atau mesin motor yang digeber keras-keras adalah hal-hal sederhana yang menyimpan sejuta makna bagi perkembangan anak. Sewaktu anak-anak bertingkah laku aneh macam itu, mereka membayangkan dan melakukan hal-hal nyata, yang kesemuanya mencerminkan realitas yang dialami oleh kaum dewasa. Mereka bertindak, berperilaku, menciptakan beragam hal, dan memanfaat-gunakan apa yang telah mereka kuasai dalam konteks yang otentik- sekalipun imaginer. Pikiran mereka berkembang, karena mereka belajar berhipotesis, mengujicobakan gagasan, praktek langsung, dan menerapkan pengetahuan serta keterampilan mereka. Kedua, cukup menarik bahwa kebanyakan anak memang mengembangkan keterampilan visual dan perseptual mereka pada usia tujuh tahun. Temuan ini mengasumsikan bahwa kebanyakan anak-anak memang baru siap untuk belajar membaca pada usia sekitar itu. Sebelum usia tersebut, hanya sedikit sekali anak-anak yang benar-benar sudah memiliki kematangan dan kesiapan untuk memperhatikan rangkaian huruf yang panjang untuk durasi waktu yang cukup lama. Dengan temuan macam ini, tidak mengherankan bila kebanyakan sekolah di Eropa lebih menekankan kegiatan bermain, seni, dan interaksi sosial sampai anak berusia tujuh tahun. Pelatihan membaca baru dikenalkan bila tahap-tahap bermain dan bersosialisasi tersebut telah terbentuk dan terbangun sebagai dasar fundamental yang kuat. Upaya untuk mengajarkan keterampilan baca tulis pada usia terlalu dini, yaitu kelas O kecil dan O besar yang ditengarai makin marak di Indonesia, sungguh mencerminkan ketidaktahuan (atau ketidakpedulian) dari berbagai pihak terkait akan konsep kesiapan dan kematangan macam ini. Temuan penelitian pada tahun 1970 menunjukkan betapa "kesabaran" untuk menunggu kematangan dan kesiapan mutlak dibutuhkan. Para pembuat kebijakan di provinsi Rhein-Westphalia Utara (kemudian dikenal sebagai Jerman Barat), berencana mempercepat kematangan dan kesiapan belajar anak-anak. Mereka menghendaki digantikannya kurikulum TK yang lebih ditandai dengan banyak permainan (lebih mengedepankan belajar aktif dan konkrit) dengan kurikulum yang mengajarkan anak-anak keterampilan dasar dengan cara yang jauh lebih terstruktur. Sebelum kebijakan ini diterapkan, dilakukanlah serangkaian ujicoba melalui penelitian longitudinal yang didesain secara hati-hati. Dampak dari 50 program TK akademis (yang lebih baru dan terstruktur) dibandingkan dengan 50 program TK tradisional (yang lebih banyak permainannya). Dua kelompok peneliti dari dua universitas yang berbeda, dengan menggunakan metode riset yang berbeda pula, menemukan bahwa hasil dari dua model tersebut sangat berbeda. Pada usia 10 tahun, anak-anak yang belajar di model TK tradisional justru jauh lebih matang baik secara sosial dan emosional di sekolah. Mereka juga lebih maju dalam hal keterampilan membaca, kemampuan matematika, dan bidang-bidang lain yang diujikan. Lebih lanjut, mereka jauh lebih bagus dalam hal kreativitas, inteligensi, sikap rajin, dan mengungkapkan gagasan secara wicara. Pesan dari riset ini jelas: upaya untuk mempercepat proses belajar dengan tanpa mempertimbangkan hakekat pertumbuhan, kematangan, dan kesiapan anak justru berimbas pada akibat yang tidak diharapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun