Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Mental a la Rumi Sang Sufi

3 Januari 2016   15:29 Diperbarui: 3 Januari 2016   15:29 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī (1207 – 17 December 1273) atau lebih dikenal sebagai tokoh Islam pemersatu dari berbagai bangsa wilayah di Asia Tengah, memberikan inspirasi bahkan sampai hari ini. Mengapa saya tertarik untuk mempelajari tokoh istimewa ini?

Tahun 2015 merupakan periode penuh goncangan, di mana berbagai berita buruk menjadi bagian dari konsumsi sehari-hari. Ada begitu banyak cerita negatif. Yang paling kentara, pertama: carut-marut, silang-sengketa di kalangan eksekutif-legislatif (papa minta saham) adalah satu dari salah satu yang menampilkan sisi buruk (wajah sesungguhnya) dari dunia politik.Yang kedua: panjangnya musim kemarau telah menunda kehadiran hujan, membuka aib praktek-praktek kotor pengelolaan hutan. Kebakaran hutan yang mencapai lebih dari 17,000 titik api di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, hanya memperburuk wajah yang sudah buruk. Yang ketiga: berbagai perilaku degradatif, seperti kasus tentara yang menembak mati pengendara sepeda motor, ditangkapnya sejumlah selebriti karena terindikasi dalam mafia prostitusi tingkat tinggi, dan ada ratusan catatan-catatan negatif yang lain.

Apa dampak dari dipublikasinya berbagai hal buruk dan negatif yang disampaikan secara masif, berkelanjutan, dan tanpa putus. We are what we eat. We are what we read. We are what we believe. Itu lah serangkaian proposisi filosofis yang telah membentuk kita. Saya memiliki sebuah impian sederhana. Revolusi mental adalah dengan mengangkat berbagai cerita baik, bukan membiarkan diri kita keracunan dengan berbagai berita buruk.  

Charter for Compassion: Imam Feisal Abdul Rauf

Bulan terakhir di tahun 2015 memberikan kesempatan yang baik bagi saya untuk “belajar” kembali. Bagi saya, sumber belajar yang penuh inspiratif adalah www.ted.com/talks. Jadilah, mulai jam 3.00 pagi, saya akan menghabiskan dua atau tiga talks yang menarik: saya menontonnya, mengulangi dua-tiga kali, dan membuat catatan penting. Aktivitas sebagai trainer kepemimpinan kepala sekolah dan sekaligus seorang guru membuat saya menyadari betapa sulitnya “mengubah diri sendiri dan menjadi teladan bagi orang lain.” Setelah belasan talks yang saya nikmati, dan yang menjadi inspirasi bagi banyak refleksi saya, akhirnya saya menjumpai Charter for Compassion dari Karen Armstrong (klik di sini).

Pagi ini, sebelum kami mengikuti ibadat pagi di Gereja Kotabaru bersama keluarga, saya mendapati sebuah talk mengenai Charter for Compassion yang dibawakan oleh Imam Feisal Abdul Rauf (klik di sini). Dari namanya saja sudah kelihatan Islam.  Di sini lah saya belajar untuk memahami keindahan ajaran dari agama lain. Imam Feisal Abdul Rauf berbicara tentang dua kekuatan utama: kekuatan eksternal dan internal yang menentukan kualitas manusia di dalam menjalani kehidupan keimanan.

Sufisme atau mistisisme di dalam kehidupan iman merupakan sisi internal. Imam Feisal Abdul Rauf memberikan penekanan tentang hakekat penting untuk mencari kedalaman  dan kebermaknaan akan iman, sebagaimana yang diajarkan oleh Sufi Rumi. Saya secara pribadi merasakan getaran yang kuat. Sebagai seorang yang dibabtis ketika berusia delapan bulan, dan semenjak kecil dididik sebagai seorang Katolik, adalah wajar bila saya cenderung menutup diri dari memahami ajaran agama yang lain.

Pengalaman pagi ini menjadi sebuah pengalaman rohani bagi saya: Pengalaman di mana saya bisa merasakan tidak adanya perbedaan antar diri saya sebagai seorang pengikut Katolisitas, dengan apa yang diperjuangkan oleh saudara-saudara Muslim. Saya merasa diangkat, dikuatkan, dan diajari untuk tidak membiarkan diri membeda-bedakan. Imam Feisal Abdul Rauf mengangkat sebuah ilustrasi, betapa yang paling “berkuasa” terhadap hidup kita adalah “ego.” Suatu waktu, Sufi Rumi membuat sebuah ilustrasi. Ada seseorang yang datang ke rumah temannya. Dia pun mengetuk pintu. “Siapa itu?” Dan temannya yang datang ini pun menjawab, “Ini AKU.”  “Pulanglah, AKU tidak akan menerima dirimu.” Jawaban dari dalam rumah.

Seseorang yang ditolak ini pun pulang, tentu dengan kekecewaan. Bertahun-tahun berlalu. Berbagai pengalaman hidup telah dijalaninya. Dia bukan seorang bodoh, dan dari berbagai pengalaman hidup itu pun akhirnya dia bisa banyak belajar. Akhirnya, suatu waktu, dia memutuskan untuk kembali berkunjung ke rumah temannya, yang dulu pernah menolaknya. “Siapa itu?” pertanyaan yang sama diajukan sang tuan rumah. Persis seperti yang diajukan bertahun-tahun sebelumnya. Sang tamu, yang telah menjadi semakin bijak, menjawab, “Ini ENGKAU.” Pintu pun dibuka. Akhirnya, dua teman itu pun bersua, dalam suka cita.

Sufi Rumi menegaskan: EGO, atau diri sendiri yang merasa paling benar, paling baik, paling harus didengarkan, seringkali membuat kita menjadi begitu silau dengan EGO orang lain. Dengan memilih kata ENGKAU, sang tamu belajar untuk MENGALAHKAN DIRI SENDIRI. Di sinilah hakekat COMPASSIONATE BEING menurut sang Sufi Besar Rumi. Revolusi Mental adalah keberanian untuk mengubah diri, bukan menunggu orang lain untuk baik lebih dulu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun