Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nyawa pada Sebiji Kelapa Muda

26 Juni 2010   19:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_178426" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: http://files.myopera.com/"][/caption]

Tidak ada secuilpun bayangan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Masa-masa hidupnya telah dilalui lebih dari 65 tahun selalu diikmati. Bahkan, dalam masa-masa sulit sekalipun, tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan hidup. Sepahit apapun pengalaman terburuk yang dialami, dia selalu siap untuk mengunyahnya, menelannya pelan-pelan, dan kemudian mensyukurinya.

Sekalipun tubuhnya tidak sampai 160 cm, badannya pernah kokoh dan tahan banting. Usia keemasannya tidak lah dipenuhi dengan keberhasilan. Usaha dagang kain – yang dia ambil dari Pekalongan dan mengantarnya ke pasar-pasar Jogja – tidak pernah berhasil dia jalankan. Hatinya terlalu lembut sebagai seorang pedagang. Dia gagal membedakan mana uang modal dan mana keuntungan. Bukan karena suka berfoya-foya dan memanjakan diri sendiri, namun karena hatinya tidak terlalu kuat menyaksikan kesembilan anak kakakny ayang sering meminta uang saku kepadanya.

Mbakyu Koesti, begitu panggilan mesra pada sang kakaknya tersebut, bersuamikan seorang pegawai negeri sipil. Golongannya tidak rendah-rendah amat, namun untuk menghidupi dan membiayai kesembilan anaknya, tentu tidak mudah. Sebagai bungsu yang semenjak kecil selalu disayang oleh Mbakyu Koesti, Koesno sendiri akhirnya bersumpah Bisma – tidak akan menikah demi membantu membesarkan anak-anak kakaknya.

Lebih dari dua-pertiga hidupnya telah dia habiskan untuk hidup bersama kakaknya. Berbagai pengalaman, baik suka dan duka, telah dia nikmati. Rasa bangga sebaga seorang paman yang telah mengorbankan dirinya sendiri tercermin dalam serangkaian foto wisuda dari para ponakannya itu. Namun, hari-hari buram juga tidak pernah hilang dari ingatan. Kematian suami mbakyu Koesti lebih dari 23 tahun lalu menjadikannya sebagai sosok bapak yang tidak tergantikan.

Senja hari membawa serta terang sinar mentari yang sebelumnja tajam dan penuh vitalitas. Senja juga telah mengubah nyala api dalam hati menjadi muram. Apalagi senja juga membawa kesendirian menjadi begitu menyiksa. Benar bahwa kebanggaan atas keberhasilan ponakan-ponakannya dalam menggondol gelar sarjana tidak bisa dihapuskan begitu saja. Juga perkawinan dan hadirnya anak-anak dari ponakan-ponakan yang dia bantu biayai tersebut menyisakan rasa bangga. Juga mobil-mobil yang dikendarai oleh para ponakan yang pulang menengok kampung halaman. Semuanya menyisakan rasa bangga.

Sebagai seorang janda, mbakyu Koesti pun menghabiskan waktu-waktu untuk mengunjungi anak-anak cucunya. Kadang-kadang, 2 sampai 3 minggu dia habiskan di Bandung, dilanjutkan beberapa waktu di Bogor, dan kadang langsung ke Jakarta. Tidak jarang, mbakyu Koesti tidak sempat menengok Koesno yang menunggu rumah sendirian.

Kepergian mbakyu Koesti menjadi hari-hari Koesno begitu kelabu. Kesepian dan kesendirian yang menggebu telah membuat sakit asmanya kambuh. Koesno terpaksa menghabiskan waktu 9 hari di rumah sakit. Ponakan-ponakannya semua menanggung biaya pengobatan.

Dua minggu sepulang dari rumah sakit, Koesno benar-benar menikmati kasih sayang mbakyu Koesti. Kakaknya yang masih menyisakan kecantikan itu memang sudah berambut putih, namun sentuhan magisnya masih sangat terasa dalam makanan dan minuman yang dia buat. Dalam hati kecil, Koesno sepenuhnya tahu: Mbakyu Koesti sudah lengkap dengan rencana-rencananya. Ponakan yang di Surabaya sudah siap memboyong mbakyu Koesti untuk minimal tiga minggu.

Khusus, selama liburan ini, mereka langsung akan mengajak mbakyu Koesti berlibur ke Bali. Trisno, ponakan yang di Surabaya ini memang merasa cukup “membahagiakan” ibunya. Dibandingkan dengan adiknya, si Sugeng yang telah mengajaknya menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, Trisno merasa belum memberikan apa-apa.

Koesno makin tengggelam dalam lamunannya. Mbakyu Koesti yang makin sering pergi. Ponakan-ponakan yang telah berhasil – sekalipun tidak semua – telah meninggalkan rumah. Ingatannya tiba-tiba berkutat pada diri si Rini, anak kelima dari mbakyu Koesti. Anak yang cantik ini harus menderita akibat menikah dengan orang yang keliru. Suaminya yang berpangkat tinggi di suatu departmen pemerintah ternyata sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Bayangan demi bayangan datang silih berganti. Namun kenapa justru yang datang malah bayangan-bayangan yang jauh dari menyenangkan? Tampaknya senja ditemani mendung yang gelap. Pengalaman-pengalaman yang tidak membahagiakan itu makin membuat sesak di dadanya sulit untuk bernafas dengan lega. Dengan menyembunyikan rasa sakit di dadanya, Koesno mengantar mbakyu Koesti sampai di pintu keluar.

“Ron, Om belikan kelapa muda ya!” Koesno berucap sambil menyerahkan selembar lima ribuan ke telapak tangannya.Ronnie adalah anak SMP dari tetangga yang selama ini paling rajin menemani Koesno. Namun, sebelum si Ronnie menggapai sepedanya, Haris, anak keenam dari mbakyu Koesti sudah mencegatnya.

“Ron, jangan belikan Om Koesno kelapa muda. Soalnya Om Koesno darah rendah,” katanya singkat. Haris baru akan kembali ke kota tempatnya dia bekerja tiga jam kemudian. Alasan karena darah rendah terdengar dibuat-buat. Dan memang begitulah kenyataannya. Haris tahu lebih dari sekedar arti kelapa muda bagi Om Koesno.

Tepat 17 hari Koesno kembali dari rumah sakit. Mbakyu Koesti barusan mengirim SMS. Trisno sudah menjemput di Juanda, Surabaya. Tiga minggu ke depan akan menjadi hari-hari penuh kesepian. Haris adalah ponakan yang pulang paling akhir. Hanya Koesno sendirilah yang tinggal di rumah.

Koesno sudah berkeputusan. Kini tiba waktunya untuk mengurusi diri sendiri. Telah cukup lama dia membantu dan menemani kakaknya. Kini semuanya telah terpenuhi.

Dikayuhnya sepedanya pelan-pelan keluar pekarangan. Sekitar jam empat sore dia menikmati suguhan sederhana: kelapa muda tanpa tambahan atau es sama sekali. Koesno ingat, empat puluh lima tahun lalu dia terakhir kali menikmati kelapa muda. Waktu itu dia meminumnya sambil membaca rapal, tentu setelah tujuh hari tujuh malam berpuasa. Rapal kesaktian itu akan melindunginya dari segala macam maksud jahat yang ditujukan kepadanya. Mulai dari diucapkannya rapal itu, dia sudah menyerahkan perlindungan dirinya pada sebiji kelapa muda.

Malam itu, semuanya berjalan seperti biasanya. Koesno masih menikmati dua pertandingan sepak bola.Dengan ditemani Ronnie dan beberapa tetangganya yang lain, Koesno masih berteriak-teriak girang atas tersingkirnya Italia akibat kekalahan 2-3 dari Slowakia.

Namun, keesokan harinya, Koesno ditemukan telah bersandar kaku di dekat pintu kamar mandi. Tubuhnya sudah dingin. Dia memilih hari kematiannya dalam kesendirian: ketika mbakyu Koesti sedang bepergian dan ponakan-ponakannya sudah kembali ke kotanya masing-masing.

*) Cerita ini hanya fiksi belaka. Bila ada kesamaan nama dan kejadian, itu hanyalah kebetulan belaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun