"Suka makan permen ya, Mbak?" tanya seseorang padaku saat kami tengah dalam perjalanan di atas kendaraan motor Yamaha Mio.
"Ehmm Iya Bapak!" jawabku singkat.
"Pantas saja manis!" ujarnya membuatku tertawa kecil.
Salah satu dialog dari perjalanan Masjid Agung sampai rumah di Jalan Halim Perdana Kusuma. Lelaki suami orang itu mengantarkanku. Rudi Hartono. Lelaki yang aku perkirakan sudah kepala empat ini hampir saja tepat. Usianya lima puluh-an. Wajahnya bulat telur, kulit sawo matang, tubuh lumayan pendek dan sedikit gendut.Â
Senyum lelaki itu menggantung pada bibirnya yang mungil. Aku membayangkan, karena wajahnya ditutup dengan masker warna coklat dan hitam berbatik. Kami keluar dari masjid. Di setiap celah menuju jalan besar, lelaki itu menyapa beberapa orang. Mulai dari penjual bakso, penjual gorengan, penjaga toko, hingga orang berkendara ia sapa dengan memencet tombol bel 'tinn'
Kami menyusuri jalan bersama. Melewati pusat pertokoan, hotel, bangunan tinggi, warung makanan, dan masih banyak lagi.
"Sudah tahu tempatnya kan, Mbak? Kalau iya gps-nya saya matikan," ujarnya membuka obrolan sepanjang kurang lebih tiga kilometer.
"Iya Bapak, sudah tahu!"
Usai obrolan itu, lelaki itu menanyakan tentang rumah, sekolah, dan aktifitasku. Kemudian, tanpa kuminta ia bercerita dengan sendirinya.Â
"Saya suka mengajar. Tapi bukan guru di sekolah."