Kota ini nampak memesona dari kejauhan. Di antara ribuan rumah-rumah gedhek bertembok bambu, beralas tanah masa penjajahan telah tertindih oleh rumah-rumah susun, bertembok bata, beralas keramik, marmer, bahkan kuningan sekalipun.
Perempuan itu, tinggal di selakangan kota. Rumah gedheknya tak mau diperbaiki. Ia bangga dengan rumah pertama dimiliki itu. Anak-anaknya kini sukses dalam pekerjaan. Memiliki rumah susun, juga mobil mewah berjejer di halaman rumah. Perempuan itu ngotot. Berapapun uang yang diberikan anaknya untuk memperbaiki rumah, hanya disimpan di kaleng roti bekas.
Suatu hari, sorot mata rembulan menembus rumah perempuan janda itu. Dari luar nampak kerlipan bintang-bintang di atas rumahnya. Beberapa warga saling menggunjing. Sampai di suatu waktu, rumah itu digrebek warga supaya dipindahkan atau diperbaiki. Maklum, di antara rumah tua itu ya hanya satu itu yang masih akrab ala bambu.
Tidak terlalu lebar sebenarnya. Bahkan, tak ada halaman untuk sekadar parkir motor. Jika ada orang bertamu, kendaraan milik tamu parkir di jalan. Kadang pula parkir di gerbang masuk kompleks perumahan.
Dengan tenang, perempuan itu menghabiskan sore duduk di lincak sederhana dari bambu. Lincak berkaki empat itu terlihat sangat tua. Usianya sama dengan anak sulungnya yang kini sudah memiliki anak dua. Wajahnya begitu tenang. Seperti tak ada beban dirasa. Benar sekali. Meski banyak yang menggunjingnya, ia tak risau. Sudah biasa, katanya, suatu waktu saat aku temui.
Jujur aku banyak belajar padanya. Ia jarang sakit. Padahal bila dilihat dari pola makanannya tidak seimbang. Ia sering makan makanan yang menginap. Tanpa lauk, tanpa amis-amisan. Hanya sesuap nasi dari padi dan sayur sederhana, ditambah dengan kerupuk yang biasa ia beli di warung Mbok Jum. Tapi ia sehat.
Karena penasaran, aku mengunjungi rumahnya yang berantakan. Bagaimana tidak? Tiga seperempat dari rumahnya digunakan untuk menampung barang-barang bekas hasil mulung. Ada kardus, kertas, botol aqua, dan barang-barang bekas lainnya. Saat kutemui, perempuan itu tengah memilah-milah barang bekas.
"Loh, Nak Doni!"
Perempuan itu kaget aku mampir di gubuknya. Tidak biasa-biasanya ini aku lakukan memang. Karena biasaku hanya menyapa di bibir pagar rumahnya.
Di bawah terik matahari, keringat perempuan itu luruh. Ia banyak cerita tentang perjalanan hidupnya. Mulai dari awal membangun rumah bersama suaminya, menyekolahkan anak, bekerja sebagai buruh rumah tangga, hingga kini ia akrab dengan barang bekas.
"Rumusnya hanya satu, Le," ucap perempuan itu saat kutanya bagaimana ia bisa menerima cibiran warga.