Menjaga Kok Menyakiti
Era sekarang ini, penyetaraan gender antara laki-laki dan perempuan mengubah pola pergaulan manusia. Peran perempuan tidak saja urusan rumah tangga. Tetapi, melebar ke ranah domestik. Meskipun begitu, masih ada saja kecenderungan potensi laki-laki dibandingkan perempuan. Termasuk dalam pemenuhan biologis---seks. Faktanya, sampai detik ini di Indonesia masih banyak pemerkosaan yang merupakan tindakan pelecehan seksual.
Mengerikan. Kasus kekerasan seksual terhitung oleh Komnas Perempuan tahun 2017, tercatat 348.446 kasus. Pemerintah mencoba bergerak dalam rangka upaya menanggulangi kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi. Seperti tahun lalu adanya gerakan Kota Layak Anak.
Sesungguhnya, pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan sudah dikeluarkan, yakni hukuman kebiri kimiawi dan penambahan masa kurungan menjadi seumur hidup. Pemberatan ini berlaku untuk semua saja. Baik penjabat, doktor, guru, orang tua, dewasa, dan lainnya. Karenanya, kekerasan seksual tergolong kejahatan terhadap kesusilaan. Maknanya, kejahatan yang terselimuri dengan nuansa moral dan moralitas sebagai nuansa kejahatan serius yang membahayakan diri dan tubuh seseorang. Apabila dikaitkan dengan nilai-nilai kesopanan, termasuk perlakuan yang tidak sopan karena adanya paksaan disertai kekerasan.
Menjaga, Kok Menyakiti
Menjaga tapi menyakiti, sepertinya sebuah kata yang berbalikan maksud. Bagaimana tidak, menjaga yakni menjauhkan atau mencegah dari hal-hal yang buruk, tapi justru disertai dengan tindakan menyakiti. Tindakan demikian itu, tergambar dalam kasus kekerasan seksual.
Perilaku kekerasan yang berujung kematian berulang terjadi. Perilaku kekerasan bisa di mana saja dan kapan saja. Kekerasan seksual yang terekam didominasi dari keluarga terdekat, seperti ayah, kakek, paman, hingga paman. Kemudian, pelakunya adalah anak di bawah umur hingga orang yang sudah berkeluarga. Bentuk kekerasan yang terungkap, 85% pelakunya keluarga terdekat dan 45% dilakukan dengan ancaman atau intimidasi dan kekerasan.
Tentunya kita masih ingat, kasus yang terjadi pada Angeline. Kemudian, kasus Kezia Mamansa, seorang bocah berusia 10 tahun di Kota Sorong, Papua Barat. Sempat menghilang akhirnya ditemukan dua jasat bocah itu dikubur di sekitar rumah. Diduga pelaku kedua kejahatan asusila itu adalah keluarga sendiri.
Dua kasus di atas seakan-akan menggambarkan nafsu manusia melebihi kejamnya binatang. Seperti peribahasa, "Sekejam-kejamnya harimau, dia tidak akan memangsa anaknya sendiri." Ungkapan tersebut pantas dijadikan gambaran perilaku biadab pelaku kekerasan seksual. Ancaman hukuman selama 15 tahun penjara sepertinya tak cukup untuk perbuatan keji itu. Sehingga muncullah hukuman seumur hidup.
Ada hal yang menarik dari ramainya kasus kekerasan seksual yang mencuat belakangan ini. Yakni, perilaku tersebut bukan terjadi tanpa sebab. Bisa terjadi karena efek mengonsumsi minuman keras, munculnya seks birahi yang tidak dapat dikendalikan, hingga pada kecemburuan terhadap korban. Karena itulah pendekatan kultural-sosiologis dapat diterapkan untuk mencegah perilaku kekerasan.
Kehidupan berbudaya dan bersosial dengan saling menghargai hak asasi manusia, perlu disadarkan ulang. Termasuk kesadaran keluarga, bagaimana peran anggota keluarga dalam hal saling menjaga. Sebagai orang tua, khususnya berhak memberikan rasa aman, nyaman kepada anaknya. Aman dan nyaman tergambar melalui bagaimana orang tua memberlakukan anak perempuannya. Sebab, kekerasan seksual yang terjadi pada anak akan berdampak pada masa depannya.