Mohon tunggu...
Mbak Avy
Mbak Avy Mohon Tunggu... Penulis - Mom of 3

Kompasianer Surabaya | Alumni Danone Blogger Academy 3 | Jurnalis hariansurabaya.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Fenomena Prank, Kreativitas yang Kelewat Batas

9 Juni 2019   19:59 Diperbarui: 9 Mei 2020   09:15 2289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prank yang menjadi fenomena di tengah digitalisasi (Sumber: gazettereview.com)era digitalisasi (Sumber: Adat adalah daya kreasi manusia yang sudah ditempa selama bertahun-tahun dan memiliki daya ikat spiritual. Karena itu mengintervensi adat justru akan merusak daya ikat spiritualnya dan akan menghasilkan berbagai macam hal buruk di berbagai sektor kehidupan masyarakat

Sore ini saya sedang melihat tayangan televisi yang membahas tentang fenomena prank. Ada yang pro dan kontra. Juga contoh tayangan yang mulai sekadar usil, jahil, tidak berperikemanusiaan dan yang lagi ngehits adalah sampai melibatkan aparat hukum. Herannya, kok ya mau-maunya toh aparat itu.

Prank memang akhir-akhir ini kerap dijadikan konten oleh para YouTuber. Dan herannya, konten semacam itu sangat laris banget. Di era digital sekarang ini, kreativitas sepertinya memang semakin mendapat tempat dan menemukan ruangnya. Terutama di kalangan milenial yang membutuhkan eksistensi diri. Dan salah satu hal yang kini lagi ngehits adalah prank.

Prank dalam bahasa Inggris ternyata berarti lelucon atau gurauan. Biasanya konten yang disajikan berupa sesuatu yang bohongan tapi disetting serius dengan tujuan bikin si korban shock dan drop.

Kalau sudah tercapai tujuannya, beramai-ramai mereka akan terpingkal-pingkal mentertawakan korban yang kadang sudah mewek bahkan sampai pingsan. Pelaku prank seperti tidak merasa bersalah, cengengesan merasa menang. Apalagi berharap konten yang dia buat bisa mendapat jutaan viewers.

Dan saat ini, prank tengah menjadi fenomena yang mewabah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Konten-konten prank seperti itu juga banyak dibuat oleh para YouTuber demi menarik banyaknya likers dan subscriber.

Dan faktanya memang konten prank selalu bisa menjadi trending topik di YouTube. Karena banyak peminatnya, akhirnya berbagai konten prank pun membanjiri YouTube. Dengan segala macam adu kreativitas, tapi banyak juga tidak memikirkan resiko dari akibatnya.

Konten Prank banyak membanjiri laman Youtube (capture dari YouTube)
Konten Prank banyak membanjiri laman Youtube (capture dari YouTube)
Salah satu contoh prank yang sangat ekstrim yaitu sekitar tahun 2011. Seorang YouTuber berdandan ala suster ngesot yang bertujuan untuk mengagetkan sekaligus akan menakuti orang yang di dalam lift.

Tentunya kemunculan suster ngesot tersebut sangat mengejutkan orang yang akan masuk ke lift. Akhirnya petugas keamanan pun turun tangan. Ditendanglah wajah wanita yang berpenampilan menyeramkan itu. Kalau sudah begitu, kedua pihak jadi korban yang tidak diinginkan dari Prank itu.

Dulu YouTube sempat melarang prank. Terutama pelarangan video prank yang cenderung bisa menyebabkan kondisi berbahaya kepada anak-anak. Baik secara fisik maupun psikologis yang menimbulkan stres dan trauma seumur hidup.

"Kami tidak mengizinkan lelucon yang membuat para korban percaya bahwa mereka berada dalam bahaya fisik yang serius." demikian wakil YouTube yang dilansir The Guardian.

Larangan itu dikeluarkan ketika ada tantangan Bird Box Challenge, yang terinspirasi dari judul film yang sama. Tantangan ini cukup berbahaya yaitu seseorang harus beraktivitas seperti biasa dengan mata ditutup kain. 

Dari yang awalnya lelucon, tapi cukup membahayakan. Seperti menyeberang jalan atau menyetir mobil dengan mata tertutup. Akibatnya sejumlah pembuat konten ada yang tabrakan. Nah, bisa dibayanginkan? Tentunya tidak hanya resiko tinggi yang menimpa si pelaku. Tapi juga orang di sekelilingnya.

Sekarang, prank menjadi sebuah pro dan kontra tidak berkesudahan. Karena di satu sisi, para YouTuber membutuhkan konten yang diminati subscribernya, yang mendatangkan banyak view.

Seorang psikolog berpendapat, prank tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena bisa menimbulkan rasa cemas dan trauma bagi sang korban. Dan tentunya urusan bisa jadi panjang. Pikiran yang kalut dan cemas bisa membuat fisik jadi drop.

Sedihnya, banyak juga yang menutup mata dan telinga seolah tidak peduli kritik dan komen terutama para pelaku pembuat konten yaitu YouTuber itu sendiri. Mereka selalu memberi jawaban klise, "Ini channel gue, kalau nggak suka ya unfollow aja".

Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Sebagai YouTuber yang mempunyai follower atau subscriber (baik yang jumlahnya bijian sampai jutaan) seharusnya mempunyai tanggung jawab moril dan memberi edukasi kepada para pengikutnya itu. Apalagi kalau sebagian besar penggemarnya adalah anak-anak atau ABG yang mudah sekali meniru. Sedangkan mereka tidak tahu tingkat keselamatan kalau dengan bulat-bulat menirunya. Mereka tidak paham kalau semua itu ada trik dan settingan.

Kalau sudah begitu, peran oran tua memang sangat dibutuhkan. Jangan hanya anak-anak saja yang disebut milenial. Orang tua pun harus memposisikan diri sebagai orangtua milenial. Lalu bagaimana caranya?

1. Jangan gaptek atau gagap teknologi.

2. Selalu mengikuti teknologi yang semakin hari semakin berkembang. 

3. Pantau media sosial, di mana semua informasi sangat mudah diakses.

4. Libatkan diri ketika anak sudah mau mencoba bikin konten.

Cukup sekian curhat saya sore ini. Yang sangat spontan ketika melihat tayangan info tentang prank di televisi. Salam internet sehat dari emak (yang mengaku) milenial!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun