Mohon tunggu...
Udinz Azyz
Udinz Azyz Mohon Tunggu... -

aku ingin terpendam dalam bumi kehinaan..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Isra' dan Mi'raj Nabi

30 Mei 2013   13:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada empat bulan yang dimuliakan oleh Allah, tiga darinya( Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram) disebutkan berurutan dan satu bulan (Rajab) tersendiri. Pada bulan ini ada peristiwa besar dalam sejarah kenabian Muhammad Saw. Dunia Islam menyebutnya sebagai hari besar “Isra’ dan Mi’raj”. Isra adalah perjalanan malam Nabi dari Masjid al-Haram di kota suci Makkah ke masjid al-Aqsha di Yarussalem, Palestina. Sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari Masjid al-Aqsha menuju puncak cakrawala. Ibnu Ishaq, dalam Sirahnya menggambarkan peristiwa Mi’raj Nabi itu dengan kata-kata yang menggetarkan hati :

Nabi bertuturkata : “Setelah aku melakukan apa yang perlu aku lakukan di Yarussalem, aku dibawakan sebuah tangga dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah selain itu. Itulah sesuatu yang menjadi pandangan orang-orang mati pada Hari Kebangkitan. Sahabatku, Jibril, membuatku dapat memanjat sampai kami mencapai salah satu gerbang langit yang disebut Gerbang Garda. Di sana 1.200 Malaikat bertindak sebagai pengawal”.

Peristiwa ini telah berabad-abad lamanya diperingati sebagai hari bersejarah di berbagai belahan dunia muslim dengan beragam acara ritualistik. Di Indonesia, Isra’-Mi’raj disambut dengan suka-cita, seperti hari-hari besar Islam yang lain. Setiap jatuh tanggal 27 Rajab, kaum muslim, memperingatinya dengan membaca kisah-kisah Nabi dalam al-Barzanji, dan nyanyian-nyanyian sanjungan kepada manusia agung ini. Ia juga dirayakan di masjid-masjid, pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat yang lain. Di Turki, malam Mi’raj diperlakukan sama dengan malam kelahiran Nabi. Di masjid-majid lampu-lampu yang dibungkus ornamen-ornamen kaligrafis yang indah dinyalakan, malam menjadi terang benderang. Anak-anak yang lahir malam itu seakan-akan memperoleh berkah. Orang tua mereka memberikan nama Mi’raj al-Din, Mi’raj Muhammad dan lain-lain. Di Kasymir, India, Isra’-Mi’raj disambut dengan nyanyian rakyat (folklor) yang berisi ucapan selamat datang dan penghormatan kepada Nabi yang selalu dirindui.

Dalam peristiwa itu, di Masjid al-Aqsha Nabi menjadi Imam para Nabi. Di Sidrah al-Muntaha Nabi bertemu Tuhan. Dia begitu dekat : “Qaba Qauwaini aw Adna”. Ini menggambarkan hubungan Dualitas Tuhan dan Nabi yang saling menatap dengan cinta dalam jarak yang sangat dekat. Nabi melihat-Nya tanpa tabir, mungkin bagai dipisahkan oleh kaca tembus pandang. Hati Nabi mengharu biru, jiwanya seakan hilang lenyap di hadapan Sang Maha Agung dan Maha Indah (dzu al Jalal wa al Jamal). Pertemuan yang sangat mendebarkan sekaligus mengesankan itu membuat beliau enggan kembali ke bumi. Tetapi, beliau ingat sekali, umat manusia di bumi menanti kehadirannya. Beliau menyayangi ummatnya lebih dari yang lain dan untuk itulah beliau diutus Tuhan, Rasulullah. Maka Nabi meminta apa yang bisa dilakukan oleh dirinya dan ummatnya jika ingin menjumpai dalam keintiman bersama Tuhan.

Namun sayangnya, di mata mayoritas umat islam, peristiwa Isra’ Mi’raj dipandang sebagai peristiwa spektakuler yang kejadiannya ditujukan untuk membuktikan eksistensi Muhammad sebagai seorang nabi atas kekuasaan Allah. Agaknya makna inilah yang sering ditonjolkan dalam hampir setiap peringatan, dan selalu diulang-ulang. Menurut hemat penulis, menonjolkan dimensi makna Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat kenabian semata hanya akan berujung pada persoalan metafisis, tidak pernah menyentuh makna di balik apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat tempat beliau berdakwah, sehingga pesan sosial dan signifikansinya bagi kehidupan sosial hilang. Sampai sini, kemudian peristiwa tersebut menjadi a historis: cerita tentangnya diulang terus-menerus seolah-olah peristiwa itu terjadi di luar poros sejarah kemanusiaan.

Membaca pesan sosial dari peristiwa Isra’ Mi’raj, kita musti tidak dapat melepaskannya dari konteks sosial masyarakat Arab saat itu. Karena konteks inilah yang menjadi –dengan meminjam istilah Immanuel Kant— syarat-syarat kemungkinan (condition of possibility) terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Tanpa kondisi sosial peristiwa tersebut tidak memiliki arti apa-apa dan mungkin tidak akan terjadi. Realitas (masyarakat Arab) yang berada di luar kejadian peristiwa inilah yang menjadikan kita dapat mencerna dan memahami rasionalitas makna peristiwa itu. Sudah maklum, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada saat nabi berdakwah di kota Makkah. Dalam catatan sejarah islam dinyatakan, bahwa kota Makkah pada saat nabi Muhammad Saw mendakwahkan risalah Tuhan (Islam) merupakan pusat kota perdagangan sekaligus pusat tempat sesembahan masyarakat Arab. Sebelum menjadi kiblat umat Islam, bangunan Ka’bah menjadi gudang patung sesembahan masyarakat Arab dari segala penjuru jazirah, lebih-lebih kaum kafir-Quraisy. Lebih dari seratus buah patung, berikut jenis dan bentuknya, ada di dalam Ka’bah dan sekitarnya. Di halaman Ka’bah itu pula berbagai macam patung sesembahan diperjualbelikan.

Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Muhammad Abed Aljabiri (1989) berpendapat bahwa dakwah nabi Muhammad Saw. dengan “semboyan” dakwah la ilaha illa Alloh-nya tentu saja mempunyai dampak ekonomis. Dikatakan demikian, karena menerima semboyan dakwah tersebut berarti harus siap menjauhi dan melepaskan diri dari praktek penyembahan terhadap patung. Semakin banyak orang yang menerima dakwah nabi, maka semakin banyak orang yang meninggalkan penyembahan terhadap patung. Sebagai konsekwensi dari semakin berkurangnya orang yang tertarik pada patung semsembahan adalah sedikitnya mereka yang membeli patung, dan ini tentu akan mengurangi omset penjualan. Di sini dakwah nabi tentu saja akan dapat mengancam kepentingan para penjual patung. Atas dasar pertimbangan itulah, dakwah nabi Muhammad Saw tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk kota Makkah saat itu, bahkan malah mendapat tekanan keras dari kalangan tokoh Quraisy semisal Abu Jahal dan Abu Lahab, karena dapat mengancam kepentingan mereka.

Seiring dengan itu, lahir kelompok masyarakat elit (superior). Kelas ini diwakili oleh para tuan tanah, pemilik perkebunan di daerah Hijaz dan sekitarnya, pemilik modal, properti, dan bentuk kapital yang lain. Kelas kepentingan ini dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan shanadid al-Quraisy atau aristokrat Quraisy (Khalil Abdul Kariem, 1993).Kelas shonadid al-Quraisy (kelas masyarakat superior) memainkan peran penting di tengah masyarakat dalam menentukan kebijakan publik.

Mencermati situasi sosial masyarakat Arab seperti itu, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat dibilang hadir sebagai simbol perlawanan kultural (counter of culture) atas menggejalanya budaya yang serba materialis-hedonis. Gejala ini dapat dilihat pada penuhanan dan penjualan patung. Melanggengkan penyembahan patung tidak lain adalah mempertahankan kepentingan individu tertentu untuk menguasai sentra perdagangan: memperkaya diri dengan harta yang bergelimang untuk dapat memainkan kebijakan publik. Siapa yang kaya itulah yang akan dijunjung dan dihormati, bahkan didengar petuahnya oleh masyarakat. Dengan kekayaan melimpah segala yang menjadi keinginannya dapat terpenuhi. Inilah hukum yang berlaku di tengah masyarakat Arab saat itu. Budaya materialis-hedonis hanya mengantarkan seseorang pada realitas yang mati, kering, dan kaku, karena segala yang ada di sekitarnya selalu diukur dengan materi, tidak lebih dari itu. Spiritualitas dan mentalitas mereka pun serba materialistik. Ini yang menyebabkan nurani mereka tumpul, dan sensibilitas nurani kemanusiaannya mati kutu, sehingga mereka cuek atas segala problem kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.

Untuk menyembuhkan spiritualitas dan mentalitas yang serba materialis-hedonis itu, diperlukan sebuah terapi spiritual. Barangkali meminjam istilah ilmu Psikologi, spiritual healing (penyembuhan spiritual). Terapi ini berguna untuk mengembalikan dan membangun kembali kesadaran nurani kemanusiaan yang telah mati tertimbun puing-puing materi dan kekayaan. Setidaknya, hasil lawatan nabi dalam Isra’ Mi’raj adalah perintah melakukan sholat lima waktu. Dan terapi spiritual itulah dapat dibilang sebagai salah satu manfaat dan fungsi dari ritual sholat itu. Jalaluddin Rumi, sufi dan penyair muslim terbesar merumuskan rahasia shalat dalam puisinya yang terkenal :

Shalatnya tubuh, terbatas

Shalatnya ruh, tak terbatas

Ia tenggelam dan tak sadarnya ruh

Hingga segenap bentuk tetap berada di luar

Ketika itu tak ada lagi ruang yang memisahkan

Meski bagi Jibril sang ruh suci itu


Ketika Nabi gundah-gulana, beliau meminta Bilal bin Rabah, si kulit hitam (budak-belian Etiopia) dengan suaranya yang merdu, mengumandangkan azan. Nabi memuji keindahan suaranya dan menghargainya seperti ia menghargai para sahabat dan siapapun manusia di bumi ini. Beliau selalu mengutus Bilal untuk beradzan dengan berucap: ya Bilal, arihna bi ash-sholah (wahai bilal, istirahatkan/enakkan diriku dengan sholat). Di lain kesempatan Nabi juga bersabda : “Ju’ilat Qurratu ‘Aini fi al shalah” (mataku dijadikan Tuhan berbinar-binar ketika aku shalat).
Kapanpun beliau mendambakan untuk kembali ke hadirat Ilahi dan meninggalkan ruang dan waktu dunia yang pengap, beliau segera bergegas shalat, khusyu, kontempelatif dan keintiman yang mengharu-biru. Lalu segalanya menjadi damai, tenang dan sumringah. Betapa indahnya.

Seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf yang sangat wara dan sangat khusyuk sholatnya selalu khawatir jika ibadahnya kurang khusyuk dan selalu meminta komentar kepada orang yang lebih ahli dalam beribadah atas shalatnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu merasakankekurang khusyukan dalam beribadah.

Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Isam dan bertanya : "Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?, Hatim berkata : Apabila masuk waktu shalat aku berwudhu’ zahir dan batin." Kemudian Isam bertanya, "Bagaimana wudhu’ zahir dan batin itu?"

Hatim berkata, "Wudhu’ zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu’ dengan air. Sementara wudhu’ batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :

1.Bertaubat

2.Menyesali dosa yang dilakukan

3.Tidak tergila-gilakan dunia

4.Tidak mencari / mengharap pujian orang (riya’)

5.Tinggalkan sifat berbangga

6.Tinggalkan sifat khianat dan menipu

7.Meninggalkan sifat dengki,

Kemudian aku pergi ke masjid, aku bersiap shalat dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian ‘Sirratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhirku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam shalat ku fahami maknanya, kemudian aku ruku’ dan sujud dengan tawadhu’, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bershalat selama 30 tahun." Tatkala Isam mendengar, menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

Akhirnya, dengan peringatan isra’ mi’raj ini mari kita menghadirkan dan mengendapkannya dalam lubuk terdalam untuk selalu memperbaharui mentalitas, spiritualitas, dan kesadaran kita akan segala persoalan kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat, salahsatunya dengan cara menjaga untuk selalu mendirikan oleh-oleh Nabi yakni sholat lima waktu. Tidak menutup kemungkinan mentalitas dan kesadaran kita sudah tercemari oleh budaya materialais-hedonis sehingga kita tidak dapat keluar dari krisis kemanusiaan yang berkepanjangan sebagaimana yang dapat kita saksiakan di negeri ini.

*Materi disampaikan pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi SAW di Pesantren Al-Rosyid 30/05/2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun