Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembunyi dari Balik Senyummu

20 Desember 2014   16:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:53 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14190446891416872327

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_342229" align="aligncenter" width="350" caption="Fera (Foto koleksi pribadi)"][/caption]

Mungkin aku adalah sebagian besar manusia yang lemah menghadapi senyuman, dari orang-orang yang ahli dalam membuat semesta ini tersenyum. Meski banyak ustadz bilang, senyum adalah ibadah, namun bagiku senyuman tak lebih dari seonggok kemunafikan yang tak perlu ditafsirkan lagi sebagai sebuah komunikasi non-verbal. Mungkin, saat ini banyak sekolah yang mengajarkan bagaimana seseorang bisa tersenyum. Namun bagiku sekolah-sekolah itu bukan mengajarkan kejujuran, tapi justru mengajarkan manusia untuk memiliki sifat kepura-puraan yang lebih dalam lagi. Sebab, ketika kita berada disekolah maka kita tidak lagi boleh menggunakan hati nurani. Kita dituntut untuk mengikuti fakta, data dan informasi yang berkembang. Kita harus mengikuti teori yang sudah ada. Siapapun tak boleh berteori selain seorang profesor botak yang sering fikirannyapun tak masuk akal. Sekali lagi, tersenyum tak perlu diajarkan, ia akan lahir dengan sendirinya tanpa disuruh, jika hati nuraninya damai.

Bagiku, tak seharusnya manusia tersenyum hanya sebagai komoditas untuk menipu. Karena senyum mudah ditelusuri darimana ia berasal. Jika lahir dari kepura-puraan, ia akan terasa hambar, tapi jika ia lahir dari jiwa yang damai kitapun bisa merasakannya dari jiwa yang tenang.

Sebenarnya, aku bermaksud mengatakan bahwa dunia ini memang tak seperti penampakannya. Banyak hal tersembunyi di balik penampakannya. Yang sering tampil di permukaan justru kebohongan dan penipuan. Kebenaran dan kejujuran yang seringkali menyakitkan, justru mengendap di balik apa yang tampak sebagai fakta atau data.

Mungkin, itulah kenyataan hidup kita sehari-hari. Wajah cantik menyimpan kebusukan. Wajah tampan dan rapi menyimpan kerakusan. Kita bagaikan menghirup udara penipuan setiap harinya. Namun, penipuan itu tidak bisa dibiarkan. Ia harus dipertanyakan dan dilawan, supaya kita bisa melihat apa yang tersembunyi di baliknya. Mungkin, kita tak akan pernah sampai pada kebenaran. Namun, usaha untuk mempertanyakan penipuan juga dapat dilihat sebagai "kebenaran" itu sendiri, yakni kebenaran yang terus berubah dan berkelanjutan.

Sebaga manusia, seringkali kita tak menyadari bahwa penipu terbesar kita ternyata adalah pikiran kita sendiri. Dengan segala macam prasangka, trauma dan dendam, kita melihat kenyataan hidup ini tidak dengan kejernihan berpikir, tetapi dengan selimut kabut yang mengacaukan. Awan-hitam prasangka buruk, trauma dan dendam ini mengakibatkan kita selalu disiksa oleh pikiran kita sendiri. Seperti misalnya dengan kekuatiran dan ketakutan akan orang lain, atau kecemasan akan masa depan. Fikiran yang kacau dan jiwa yang tidak mendamaikan, akhirnya menuntun kita untuk bertindak seiring dengan kekacauan fikiran kita itu, yang menciptakan konflik dan ketegangan antar sesama.

Selanjutnya sumber dari semua penampakan dalam hidup kita, juga berasal dari persepsi kita sehari-hari tentang berbagai sesuatu. Persepsi yang baik akan memancarkan energi yang baik pula, namun persepsi buruk terhadap sesuatu akan banyak melahirkan prasangka, trauma dan dendam yang berkepanjangan.

Mungkin, kita perlu hidup dengan berpijak pada pemikiran dasar, bahwa apa yang tampak itu tak pernah apa yang sesungguhnya, dan inilah kenyataannya. Sebab kenyataan hidup kita hanya diwarnai dengan fikiran kita untuk selalu bisa diterima oleh orang lain, bukan ingin menampilkan diri kita apa adanya. Fikiran kita selalu mengajarkan agar kita menutupi kelemahan yang ada dalam diri kita, kalau tidak orang akan membuli kita, bahkan meremehkan kita. Intinya, kita tidak perlu bertindak alamiah, kita harus menampilkan diri kita sesuai kehendak masyarakat, dan tampil secara ilmiah.

Berpijak pada pandangan ini, akupun perlu untuk "tidak percaya" pada apa yang tampak dari orang lain. Penampilan fisik adalah tipuan terbesar yang mengelabui hidupku dari semua kenyataan hidup, maaf, seperti juga senyummu. Wallahu A'lamu Bishshawab.

Bekasi, 20 Desember 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun