Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Arus

19 Februari 2011   21:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perhatian : Cerita pendek ini adalah karya asli dan bukan berdasarkan kisah nyata. Cerita ini hanya fiktif belaka. Kesamaan nama, tempat dan kejadian adalah kebetulan semata.

Aku selalu menghabiskan waktuku dengan duduk termenung diatas batu besar itu. Batu itu terletak dipinggir sungai Brantas yang mengalir membelah wilayah Kabupaten Blitar. Batu itu sepertinya sudah menyatu dengan diriku. Dan membuatku betah berjam-jam duduk termenung menyesali nasibku, mengeluhkan pahitnya kenyataan hidup. Hanya batu itu yang dapat kujadikan teman bicara. Hanya batu itu yang mengerti jalan pikiran dan perasaanku.

Batu itu bagiku bisa berbicara dan ternyata selalu memberiku pencerahan. Hanya dengan dia, aku bisa menyampaikan aspirasiku mengenai ekonomi, politik, dan kacaunya negeri ini. Dia selalu sepakat dengan apa yang aku sampaikan. Aku mengumpat tentang buruknya sistem kenegaraan bangsa ini, dia hanya diam. Aku teriak dan berdemo tentang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, dia juga diam, tidak main gebuk, tidak menyeretku ke mobil tahanan, tidak menyemprotku dengan gas air mata, batu itu sungguh sabar dengan keikhlasannya dia hanya diam. Terkadang dia seperti radio yang menyampaikan berita apa saja. Bedanya, berita yang disampaikannya tidak seperti koran harian yang wartawannya ikut memasukan opini pribadinya kedalam berita yang ditulisnya. Gitu kog bilang kalau beritanya seimbang, independen, dan realistis. Motto koran cap gombal mukiyo.

Aku adalah pemuda lajang berusia 48 tahun, tanpa istri dan tanpa anak....hehehehe...umur 48 kog pemuda menganggap dirinya pemuda. Tapi apa salahnya, para pejabat itu usianya ada yang seusiaku malah lebih tua, ada juga yang jadi menteri pemuda dan olah raga. Terus ada yang menjadi pimpinan ormas pemuda. Umur 50 tahun saja ada yang jadi ketua karang taruna.

Tapi bukan kelajangan dan ketuaan umurku yang akan aku pamerkan disini. Tapi ada cerita yang menarik dan sangat menyesakkan hati, otak dan pikiranku. Hingga orang-orang menganggapku gila, setengah gila, wong edan dan lain sebagainya dan lain-lain serta memang yang berlainan pikiran, otak dan perasaannya susah untuk disatukan dinegeri ini. Memangnya semua harus ikut yang mayoritas, ikut yang besar pengikutnya, jadi wong edan ndak boleh. Piye to, beda kog dimusuhi. Ah..embohlah..orangnya yang stress apa negaranya yang diisi oleh orang-orang stress, hahahahaha.....

Aku tinggal di Blitar Selatan. Tepatnya di sebuah dusun di desa yang tidak terkenal karena memang kering dan tandus, kurang lebih 25 Km arah selatan dari kota Kecamatan Kademangan, yang dilewati sungai Brantas melintas di kecamatan itu. Tahu ndak sungai Brantas itu dimana. Cari peta dan buka provinsi jawa timur, pelototi darimana dan mau kemana sungai berantas itu mengalir. Lalu rasakan, sebenarnya hidup dan kehidupanmu itu dari mana, sekarang dimana, dan mau kemana.

Terkadang aku geli sendiri dikatain banyak orang kalau aku ini gila, edan, stupid dan bahlul. Padahal ya mereka yang mengatai aku bodoh itu yang lebih bodoh. Kalau mereka pinter seharusnya tidak membodohi orang bodoh, bikin orang bodoh jadi pinter biar tidak gampang diapusi. Bukan malah dipelihara, biar mereka bisa untung dan menjual produk mereka dengan iming-iming iklan yang membodohi konsumennya.

Aku tinggal sendirian, sejak kedua orang tuanya mati gara-gara di cap PKI. Bapak mati ditembak tentara yang menumpas gerakan PKI di Blitar selatan tahun 1968. Ibuku malah terlebih dahulu sebelum bapak. Ibuku bunuh diri di kandang sapi belakang rumah, kejiwaannya terganggu akibat diperkosa beramai-ramai oleh lima tentara brengsek yang mengaku ikut penumpasan Operasi Trisula Blitar Selatan.

Gara-gara cap, stempel, tuduhan dan lain-lain aku sendiri hidup sebatang kara, karena aku adalah anak satu-satunya orang tuaku. Kalian tahu enggak, sangat susah hidup ini jika dijidatnya terstempel anak PKI, waktu masih sekolah diisolir, sulit dapat teman sejak SD sampai SMP, akhirnya ya jadi manusia bodoh seperti ini. Jadi ya maaf saja kalau apa yang saya tulis ini tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan penulisan artikel yang baik. Tapi memang niatku bukan nulis cerpen atau artikel, karena aku memang bukan cerpenis dan aku bukan juga kolumnis, kalau cap sebagai komunis iya. Memang niatanku menulis ini hanya sekedar mengudal-udal uneg-uneg saja. Dibaca orang orang ya silahkan ndak dibaca emang gue pikirin....hahahahaha....wakakakakakaka.......

Masih segar dalam ingatanku, bagaimana bapakku bersama kawan-kawannya diseret dan dipukuli beramai-ramai oleh puluhan tentara dan pemuda. Lalu dijemur ditengah lapangan desa. ‘’Ampun pak, ampuni saya pak ! Saya bukan PKI pak, saya hanya tani, saya hanya sekali ikut pertemuan BTI pak,’’ dengan suara parau sambil bapakku berjongkok dan mohon ampun kepada tentara yang terlihat seperti singa kepalaran.

"BTI dan PKI itu podo wae guoblok, sama saja, goblok !...prak...” kata tentara berbadan kecil itu sambil mengayunkan sepatu larsnya kemuka bapakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun