Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Prosa: Setitik Embun yang Ku Punya

20 Mei 2022   05:20 Diperbarui: 20 Mei 2022   05:22 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari TheDigitalArtist, Pixabay

Prosa: Setitik Embun Yang Kupunya

Kau marah malam ini tanpa pernah kutahu awal mula marahmu apa. Segera kau renteti aku dengan murkamu, kau bawa gunung lava dan kau lemparkan ke wajahku, aku diam tak bergeming, panas lavamu menghanguskan bajuku. Namun aku diam tak bergeming, menerkamu perlahan-lahan; apakah amarahmu meninggalkan pesan?

Namun tidak kutemukan apapun pada pesan amarahmu, lagipula langit selalu mendung belakangan ini, beberapa ritmenya turunkan hujan. aku kerap bertanya apakah ada jemuran yang tidak sempat engkau angkat, yang membuat emosimu tidak bisa engkau kendalikan, yang mengupas bathinmu perlahan-lahan, melukaimu dari dalam.

Atau mungkin kenangan lamamu pada hujan membuat goresan luka lama kian menyakitkan, sebab bisa jadi kau pernah jatuh cinta dibawah hujan, pernah patah hati dibawah hujan, sebuah luka lama yang membuka dan membuat darah itu tercurah perlahan. Adakah? Namun kau renteti aku dengan amarah tanpa bisa membuatku berpikir jernih, menekanku bagai pegas, membuatku tidak tahu harus memilih apa.

Jikalau aku diamkan kamu atas semua amarahmu yang tidak berdasar, apakah aku salah? Toh apimu merembesi lingkunganku nan menghanguskan cicak dibelakang jam dinding. Amarahmu begitu panas, semua terbakar atas amarahmu meskipun kucoba untuk memadamkannya.

Salahkah aku bila tidak mampu menerkamu? Toh bahasaku dan bahasamu berbeda jauh. Kau laksana Bumi dengan musim sendiri, rotasimu terlalu cepat untuk kuuikuti. Pada kehidupanmu zaman berganti dengan cepat, dinosaurus punah berkali-kali kau hantam dengan bara api. Air laut menguap ke langit, lalu kau tumpahkan lagi ke Bumi laksana peluru. Membanjiriku, membanjirimu.

Aku tak punya apapun untuk melindungi diriku sendiri dari gunung apimu, selain setitik embun yang kupunya, yang tentu tidak akan dapat memadamkan murkamu. Namun embun ini abadi, kudapatkan dari hati yang kuperas sendiri, kusortir dari warna-warni yang keluar, kuambil yang beningnya saja.

Namun kau jahat, kau meminta lebih meskipun hanya ini yang kupunya. Kau ingin meminumnya sepuasmu, kemudian tangan raksasamu memegangku dan meremas tubuhku, berharap mendapatkan embun yang serupa, namun apalagi yang bisa kubagi? Air mataku telah hilang arti, samuderaku telah lenyap, daratanku telah gersang, langitku telah menggelap dan pertanianku telah menghilang.

Lalu apalagi yang kau minta? Kekhawatiran ini tidak bisa aku pegang. Tatapan matamu yang menyoroti aku seolah aku yang bersalah, membuatku bingung dan menerka-nerka. Tikungan mana yang membuat amarahmu tersulut? Salahkah aku dalam menuntun, atau kau yang salah karena ingin terus dituntun?

Kau bagai punya musim sendiri, namun hidup adalah misteri. Kuterka dirimu dari pesan-pesan yang kau tinggalkan, berharap menemukan jejak, berharap api nerakamu tidak membakarku menjadi abu. Berharap setitik embun yang kumiliki mampu melindungiku dari apimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun