Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pahit Memang Ada untuk Dimengerti

1 Desember 2021   10:06 Diperbarui: 1 Desember 2021   10:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih Banyak Kopi Agar Kita Mengerti Bahwa Pahit Memang Ada Untuk DinikmatiPria itu diam bagai patung dengan mata yang telah memerah. Tepat dibawah mata ada kantung mata yang menggantung sehingga membuatnya terlihat seperti pecandu narkoba yang ingin menghisap sabu. Entah apa yang dipikirkannya, akan tetapi layar laptop itu seolah memahami apa yang lelaki itu pikirkan. Depresi.

Ia sendiri tidak pernah tahu apa yang membuatnya depresi, mungkin karena tugas kuliah yang ia miliki menumpuk seperti sampah di pojokan ruangan, atau mungkin karena sekali lagi ia gagal dalam kehidupan yang sedang ia jalani.

Sementara segelas kopi tandas masih menatapnya dari balik semunya dunia. Mereka berdua sama-sama tidak bergerak, sama-sama bisu, sama-sama meratapi hal yang telah terjadi. Memang lucu, kehidupan terkadang membawa manusia pada jurang-jurang terdalam, membuat mereka terpuruk dan tidak bisa bergerak. Begitulah manusia, ketika mereka berada pada bagian terbawah kehidupan, mereka terkadang tidak mampu memilih dengan baik dan benar, bahkan harus menentukan apakah mereka akan melanjutkan hidup atau memilih mati adalah pilihan yang sulit untuk mereka mengerti.

Lelaki itu percaya bahwa hidup akan menjadi tempat yang lebih baik, namun ketika manusia terpuruk dengan kenyataan, iman terkadang diam-diam menyelinap pergi dan membuat mereka bertanya apakah Tuhan itu ada atau tidak, apakah dunia yang sedang ia tempati memang bergerak kearah yang lebih baik, atau mungkin itu hanya ilusi yang ia ciptakan sendiri? Pria itu dimakan logika hingga depresi, membuat ia bertahan didepan layar laptop hampir berjam-jam tanpa pernah mengindahkan bahwa dunia yang sedang ia tempati berotasi berkali-kali.

Adakah ilusi yang ia bangun? Adakah atau ia memang terlalu jatuh kedalam pemikirannya sendiri, membuat ia dirongrong dalam keputusasaan sehingga ia terlalu jatuh kedalam sumur kehinaan?  Atau mungkin ada hal lain yang membuat ia merasa terhina?

Apapun bentuk pikirannya, kini ia tidak merasakan apapun, hanya keheningan didalam otaknya sendiri. Memang diluar sana masih terdapat suara mobil dan motor, juga suara manusia-manusia yang berbincang satu sama lainnya, akan tetapi bagi telinganya, semua menjelma kehampaan. Seolah otaknya adalah alam semesta yang hening dan kosong, dan suara-suara membeku, tanpa ada gerak dan cahaya, ia diam bagai patung tak bernyawa.

Hanya kopi yang bisa menemani hatinya karena tidurnya telah terenggut parah, bahkan ketika tubuhnya telah lelah bersaman dengan otaknya, ia kembali memaksa matanya untuk membuka, menatap intensitas cahaya yang menusuk syaraf mata, dan berkedip bila perlu.

Namun kini kopinya telah tandas dengan gelas yang telah mendingin. Ia diam, perlahan tangannya bergerak menuju gelas lalu diseruputnya ampas yang masih ada. Setelah itu, ia kembali menatap layar laptopnya yang hanya menunjukkan kursor yang berkedip-kedip.

Malam akan menjelma pagi, namun tubuhnya yang ingin terlelap diacuhkan. Ia mengambil gelas, berjalan menuju dapur dan mulai memasak air. Uap mengepul dan menyentuh dinding dapur, hidungnya mengendus-endus aroma uap sembari tangannya mengambil sendok yang terletak di rak dapur.

Lebih banyak kopi, lebih sedikit gula. Kehidupan senantiasa menyakitkan akan tetapi kopi memberikannya arti bahwasanya pahit memang ada untuk dinikmati. Dan ketika ia menseruput kopi itu, ia sedikit mendapatkan ketenangan.

Ia beruntung, laki-laki itu sungguh beruntung, diluar sana begitu banyak manusia yang tidak jatuh cinta kepada kopi, sehingga ketika mereka depresi, mereka cenderung menyaikiti diri sendiri bahkan sampai bunuh diri. Dimana Tuhan ketika manusia depresi? Atau mungkin dimana kita ketika kita depresi? Ah tentunya didepan kopi dan rokok, juga didepan minuman keras yang ditenggak dipinggir pantai. Mungkin Tuhan telah mati, ucapnya sembari membayangkan Nietzche, manusia yang membunuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun