Mohon tunggu...
Astari Mayang Anggarani
Astari Mayang Anggarani Mohon Tunggu... lainnya -

Dokter umum dan administrator rumah sakit yang banting stir menjadi ideapreneur + foodie + storyteller penuh waktu dan konsultan rumah sakit paruh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Besar dan Akibatnya

11 Februari 2012   16:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Abang…abang…abang. Yak, tanah abang…tanah abang…tanah abang Bu, tanah abang Kak… ayo De’ tanah abang…tanah abang…”sopir mikrolet sudah memulai pagi ini dengan teriakan mautnya. Merayu dan mencumbu telinga para pekerja kantoran, anak-anak sekolahan, ibu-ibu yang menjinjing keranjang belanjaan agar mereka bersedia menjejalkan diri dalam mikrolet butut berwarna biru butek dengan bemper depan keropos itu sesuai trayeknya, tanah abang-kota.

Tinggal satu celah sempit lagi dari seluruh papan berlapis plastik hitam ,yang biasa dipakai duduk para penumpang, yang tersisa. Sang sopir masih belum juga mau berangkat, kendati penumpang lainnya sudah mulai gelisah. Ibu-ibu gendut membawa bakul jamu mulai keringatan, bedak putih yang dipupurinya keseluruh pipi tembamnya mulai luntur oleh peluh yang mengalir dari dahi, seorang bapak berbaju kemeja rapi mulai bersungut-sungut sambil bolak balik melihat jam tangannya.

Tepat sebelum salah satu penumpang melancarkan protes keras kepada sopir atas kesewenang-wenangannya menunda keberangkatan, Hup! Seorang bapak tengah baya masuk dan mengisi celah sempit tadi. Ibu gendut menghela napas lega, dan penumpang lainnya menelan kembali makian yang tak terucapkan kedalam kerongkongan mereka.

Bapak yang masuk terakhir tadi memakai baju seragam kantor pemerintahan. Warna hijau kecokelatan dengan lambang ibukota di lengan kanannya, lengkap dengan bros korps pegawai dan peneng nama dari plastik kehitaman bertuliskan huruf-huruf berwarna putihmembentuk nama ‘Soewardji S’.

Berhubung ia masuk terakhir, tentu saja mendapat posisi yang paling tidak enak, yaitu paling pojok sebelah dalam dan kaki yang tidak bisa diletakkan dengan nyaman akibat terganjal ban serep. Belum lagi, duduknya pun tak sempurna akibat celah yang tersisa, sudah ditegaskan sejak awal yaitu, sempit. Dan benar-benar sempit. Sehingga bokong abdi negara kita ini bagai melayang beberapa sentimeter diatas tempat duduk. Tubuhnya terjepit antar pinggul besar berlemak sang ibu gendut dengan dinding belakang mikrolet.

Namun tampaknya pak Soewardji tenang-tenang saja, malah seperti tidak menyadari keadaan sekitarnya. Ia tidak mendengar kecipak-kecipuk komat-kamit anak sekolahan menghafal rumus bagai merapal mantra, tak juga diciumnya bau tak sedap mulai keluar dari lipatan-lipatan kulit berlemak tebal ibu disebelahnya yang tampaknya semakin kegerahan, tak juga dirasakannya sakit kala kepalanya yang kini hanya dilindungi beberapa helai rambut terantuk kaca akibat sang sopir sering mengerem mendadak seenak perutnya.

Ternyata matanya terpaku pada sebuah kertas kumal yang tertempel dikaca belakang mikrolet. Kertas tempelan tersebut adalah iklan pengobatan tradisional yang menawarkan kesembuhan luarrr biasaa dengan cara yang… ,seringkali tidak disebutkan bahwa, amat tak biasa. Tak jarang membutuhkan persyaratan uang, sesajen bahkan kurban hewan.

Mata belo-nya yang mulai menguning seolah ingin menelan bulat-bulat tulisan warna biru diatas kertas putih yang, sudah dijelaskan tadi, kumal dan hampir sobek. Isinya seperti ini: ‘Mbah anu..anu..ahli menyembuhkan berbagai macam penyakit: liper, darah tinggi, anu..anu.. kencing nanah, lemah syahwat dan membesarkan kemaluan’. Nah dua kata terakhirlah yang menarik untuk bapak Soewardji S. Apalagi dibawahnya masih ada keterangan tambahan: ‘Hasil dapat langsung dilihat ditempat, dijamin 100% uang kembali!

Wah wah wah, pantas saja ia terperangah melihat iklan tersebut. Sedang mengalami krisis paruh baya rupanya. Asal tahu saja, pak Soewardji S yang genap berusia 56 tahun 1 bulan yang lalu ini, sudah memiliki 4 orang anak dan selama ini istrinya juga tidak pernah mengeluhkan apa-apa mengenai kegiatan atas ranjang dalam 32 tahun usia perkawinan mereka.

Memang istrinya bahkan tidak pernah mengeluh tentang apapun. Tentang gajinya yang pas-pasan, tentang beras pembagian yang lebih banyak gabah dan tungaunya, tentang mengapa sampai sekarang mereka masih mengontrak rumah, atau apapun. Tidak pernah sama sekali. Istrinya sungguh perempuan idaman setiap lelaki, yang mungkin sudah tidak diproduksi lagi di abad 21 ini. Disaat begitu banyak tuntutan, syarat dan keinginan perempuan yang harus dipenuhi laki-laki; entah ayahnya, kakak, adik, suami atau baru jadi pacar sekalipun. Pribadi seperti nyonya Soewardji S sungguh sangat langka.

Kembali ke iklan tadi, disana tercantum nomor telepon dan alamat rumah sang penyembuh tadi. Diam-diam bapak kita ini menghafal nomor tersebut dan alamatnya, serupa dengan si anak SD yang mau ujian tadi. Mulut komat-kamit, mata sedikit melotot bagai penyihir yang biasanya akan diikuti dengan Abrakadabra! atau Alakazaamm!.

“Tok..tok..tok.., pinggir Bang.”suara pak Soerwardji terdengar sedikit serak mengakhiri ketukan pada atap mikrolet. Setelah turun, ia melenggang memasuki wilayah kantor pemerintahan daerah tersebut dengan wajah berbinar-binar. Setelah sampai di meja kerjanya, buru-buru ia keluarkan buku agenda bersampul kulit imitasi warna hitam dari laci meja. Diambilnya bolpoin, dijilat sedikit ujungnya, lalu ia membuka halaman tertentu yang diberi tanda pembatas pita oranye. Segera ia menuliskan nomor telepon dan alamat yang didapatnya dari iklan kumal tadi pada urutan nomor sembilan.

Ayo kita intip sedikit urutan dalam agenda itu dari nomor satu. Oalah, ternyata isinya kurang lebih serupa walau tak sepenuhnya sama. Nomor telepon atau alamat atau keduanya, dengan keterangan disampingnya yang ditulis dalam huruf balok miring kekanan antara lain seperti ini: Haji XXX langsung besar dengan pompa; Suhu XXX ramuan Cina untuk melancarkan darah ke kemaluan; Sinshe XXX totok jari membesarkan penis, dan seterusnya.

Hmmm ternyata punggawa pemerintah ini benar-benar bermasalah dengan kemaluannya, atau kepercayaan dirinya?. Sudah banyak cara ia coba untuk membesarkan adik kecilnya. Dan karena ia masih mencatat iklan kumal tadi, boleh ditebak bahwa hasil yang didapatnya selama ini belum memenuhi keinginannya.

Sepulang kerja, ia langsung mencari alamat dari iklan kumal itu. Ternyata disana sudah banyak orang mengantri, sampai keleleran dihalaman dan ke pinggir jalan becek. Ia pun membuat janji untuk keesokan harinya. Ah.. ah.. ah.. banyak juga rupanya orang-orang yang gemar berpetualang mencari kesembuhan atau pengobatan dengan berbagai cara, termasuk mempercayai iklan kumal setengah sobek yang ditempel di kaca belakang sebuah mikrolet butut.

Keesokan hari, dengan sengaja ia meminta ijin untuk tidak masuk kerja dengan alasan tidak enak badan kepada atasannya. Pak Soewardji sudah tidak sabar dan penasaran, terbayang-bayang keterangan ‘Hasil dapat langsung dilihat ditempat, dijamin 100% uang kembali!’.

Ia tak mengatakan apa-apa kepada istrinya tentang rencananya hari ini, maka ia pun tetap berpakaian seragam hijau cokelatnya dan berangkat pagi seperti biasanya. Namun kali ini ia tidak naik mikrolet trayek tanah abang-kota, melainkan kopaja ke kampung melayu. Sesampainya disana, orang yang mengantri belum terlalu banyak seperti kemarin sore, lagipula ia sudah mendapat nomor sejak kemarin.

Tepat pukul sembilan pagi lewat sembilan menit, tirai batik dari kain tipis murahan yang menutupi sebuah pintu dibuka. Inilah tandanya sang Mbah siap menerima ‘pasiennya’. Setelah 3 orang keluar dari pintu berwarna putih dekil itu, namanya pun dipanggil dan ia segera masuk. Ternyata ruangan didalamnya mirip dengan tempat praktek bidan atau dokter di puskesmas, yang biasanya ia kunjungi untuk mengambilkan jatah obat paru-paru gratis untuk istrinya. Namun pusat dari ruangan yang serba putih (tetapi sudah mulai tampak dekil) itu adalah seorang laki-laki yang duduk menghadapi meja, memakai baju takwa hitam dan celana hitam, serta blangkon hitam, namun diluarnya dilapis jas putih.

Tak dipedulikannya semua keganjilan yang ada, pak Soewardji mulai menceritakan keinginanannya. Setelah mencoba ke delapan penyembuh dan sekarang yang kesembilan, ia sudah tidak malu-malu lagi mengatakan bahwa ia ingin membesarkan kemaluannya. Bahkan ia dengan gamblang menjelaskan tidak hanya besar dalam arti bertambah diameternya, ia juga ingin bertambah panjang dan lama tegangnya. Semua ini djelaskan dengan lugas dan apa adanya.

Sang Mbah manggut-manggut, dan langsung menawarkan beberapa paket. Mulai paket A sampai E, dengan keistimewaan masing-masing. Bahkan paket hemat macam di restoran siap saji pun ada. Setelah mereka mencapai kesepakatan, maka diputuskan terapi akan dimulai saat itu juga.

Bapak kita ini diminta berbaring di sebuah dipan, sekelilingnya dipasangi hio dan kemenyan, sehingga baunya minta ampun, sampai pusing ia dibuatnya. Saat mulai terapi ia merasakan sensai dingin luar biasa, sampai terasa kebas di kemaluannya. Ia tidak bisa melihat apa yang dilakukan Mbah tadi, karena dipasang tirai kecil sebatas pinggang. Tiba-tiba ia merasakan sensasi panas dikulit kemaluannya, namun tidak berani berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian tirai kecil dibuka, bagai pesulap menunjukkan kelinci dalam topi panjang.

”Silahkan lihat hasilnya.” Ujar Mbah dengan suaranya yang berat.

Luar biasa, ia melihat diameter kemaluannya memang sedikit membesar dari biasanya. Tak dihiraukannya bahwa ada sedikit perubahan bentuk yang tidak simetris dan penonjolan setempat disana-sini. Hatinya berbunga-bunga, ia bahagia. Oh akhirnya apa yang kuimpikan tercapai juga. Sebelum pulang Mbah mengingatkan bahwa untuk hasil yang lebih hebat lagi, ia harus datang paling sedikit lima kali lagi. Pak Soewardji S mengangguk dengan kuat sambil tersenyum lebar, lalu melangkah keluar pintu dekil tadi dengan bangga.

Setelah itu kepercayaan dirinya meroket, dirumah dan dikantor; dihadapan keluarga atau atasannya ia tampak bahagia dan bangga dengan diri sendiri. Sore ini jadwal untuk kedatangannya yang keempat. Ia tidak perlu khawatir akan antrean lagi, karena kini ia sudah menjadi pelanggan tetap disana. Pelanggan tetap selalu mendapatkan nomor dengan mudah.

Sebenarnya setelah tiga kali ia menjalani terapi, nyonya Soewardji sempat berkomentar mengenai bentuk kemaluannya yang mulai terlihat aneh. Tetapi ia anggap angin lalu saja, toh ukurannya membesar dan tegangnya bisa lebih lama. Atau lebih tepatnya tampak seperti selalu tegang.

Ah sudahlah, yang penting cita-citaku bisa tercapai. Memiliki kemaluan yang besar dan bisa membuatku bangga, suara egonya menghalau rasio. Saat itu sempat terlintas dibenaknya, mungkin ia dapat menikah lagi dengan janda muda cantik penjual nasi rames didekat kantornya. Panggilan untuk masuk ke ruang Mbah, membuyarkan lamunannya.

Kali ini ia langsung saja naik ke dipan, dan seperti biasa tirai kecil kembali ditutup. Beberapa saat setelah ia merasa kebas, tiba-tiba rasa panas yang menjalari kulit kemaluannya lebih kuat dari biasa dan kali ini meluas ke perut dan pahanya. Lalu sebelum sempat ia mengutarakan hal tersebut pada Mbah, ia merasakan sakit luar biasa di dada kirinya. Sakit yang mencekik leher hingga ia sulit bernapas, apalagi berteriak………………………………………………………………………………

Sore itu, Mbah yang biasanya tampak berwibawa terlihat panik tergopoh-gopoh memanggil anak buahnya. Mereka menggotong tubuh seorang laki-laki setengah baya berkepala hampir botak ke mobil lalu bergegas pergi.

“Lho, Mbah mau kemana?” Tanya seorang nenek yang mengantar cucunya untuk diobati karena sakit ayan pada petugas pemanggil pasien.

“Ke rumah sakit.”jawab pemuda hitam legam berbelangkon hitam itu singkat.

Dokter Aria sedang mendapat giliran jaga di Unit Gawat Darurat RS. Sentosa sore itu, ketika 4 orang lelaki berpakaian hitam-hitam dengan belangkon hitam menggotong tubuh seorang laki-laki lain. Dr. Aria segera memeriksa tanda-tanda vital laki-laki yang digotong tadi. Namun hasilnya semua nol, lelaki tersebut sudah meninggal. Menjadi kewajibannya untuk mencari tahu seputar kematian pasien yang datang ke UGD ini. Apalagi diantar sekumpulan pria berpakaian hitam-hitam seperti ini tentu saja mengundang kecurigaan. Namun karena tidak berhasil mengorek keterangan, dr. Aria segera melaporkan kepada pihak kepolisian setempat.

Polisi juga menganggap kematiannya mencurigakan, sehingga diperlukan pemeriksan forensik untuk mendapatkan visum. Sementara itu, pihak keluarga sudah dihubungi dan sedang dalam perjalanan ke kamar jenazah RS. Sentosa ini. Dari hasil pemeriksaan ditemukan bahwa penyebab kematian pak Soewardji S almarhum adalah akibat sumbatan pembuluh darah jantung oleh butiran-butiran silikon.

Rupanya, selama ini kemaluannya tampak langsung membesar akibat Mbah menyuntikkan silikon dibawah permukaan kulit. Padahal metode itu sangat berbahaya, mengingat banyak pembuluh darah disekitarnya. Dan risiko butiran silikon masuk ke pembuluh darah lalu menyumbat di jantung atau di otak besar sekali.

Satu butir silikon sudah mampu menyumbat pembuluh darah dan menyebabkan kematian.Pada tubuh abdi negara yang bernasib tragis ini, ditemukan beratus-ratus butiran silikon di otak, jantung dan ginjalnya. Sungguh menyedihkan akhir dari sebuah obsesi yang berlarut-larut akan sebuah pengakuan, sebuah kedigjayaan yang diperoleh dari ‘ukuran’.

Catatan: yang ini dibuat sekitar 8 tahun yang lalu, terinspirasi kasus yang serupa namun tak sama saat jaga forensik. Tanpa bermaksud menyinggung siapa-siapa, hanya memotret fenomena aktual (saat itu) di masyarakat dalam fiksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun