Mohon tunggu...
Maya Lestari Gf
Maya Lestari Gf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Novelis-blogger-traveller. mayalestarigf.com ig: @mayalestarigf twitter: @mayalestarigf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Menghadapi Gempa: Untung Saya Pendengar Radio

22 Juni 2017   07:23 Diperbarui: 22 Juni 2017   07:38 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya masih ingat kejadian 8 tahun lalu saat bencana gempa meluluhlantakkan Sumatra Barat pada 30 September 2009. Saat itu, saya yang dalam keadaan hamil tengah mengikuti perkuliahan di gedung bertingkat dua, yang seluruh ruangannya dipenuhi mahasiswa yang tengah belajar. Kampus saya, UIN Imam Bonjol (dulu IAIN Imam Bonjol) terletak di pusat kota, berjarak 5-7 km dari tepi pantai. Ketika gempa menghoyak, gedung itu seperti tengah dilambung-lambungkan. Plafon berjatuhan, kaca-kaca berhamburan dan dinding-dinding merengkah. Saya, bersama ratusan mahasiswa lainnya berlari keluar gedung, dan alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Seluruh mahasiswa berdiri di lapangan dalam keadaan gemetar dan pucat. Sirine berbunyi di jalan-jalan. Klakson menjerit-jerit. 

Orang-orang berhamburan, berlari bersama keluarganya ke arah Pasar Baru, sebuah tempat tinggi yang berjarak 15 km dari pinggir laut. Pada saat itulah saya teringat dengan sebuah dialog yang kerap diulang-ulang di radio, "Bila gempa datang, segera lindungi kepala dan berusahalah ke luar bangunan. Begitu gempa berhenti, jangan panik. Jika Anda di dekat pantai, carilah bangunan tinggi di sekitar Anda yang masih kelihatan utuh dan kuat, lalu naiklah ke lantai atas. Jika Anda dalam kendaraan, tinggalkan kendaraan Anda. Utamakan keselamatan diri dan orang-orang terdekat Anda."

Berkat sepenggal dialog yang terus bergaung di ingatan saya itu, saya selamat dari kepanikan.

Sumatra Barat dan Bencana

Bukan rahasia lagi kalau Sumatra Barat selama bertahun-tahun ini dibayangi bencana gempa dahsyat yang konon berkekuatan 8,9 SR. Ada potensi megathrust Mentawai, begitu kata para ahli gempa, yang siap lepas kapan saja. Megathrust ini bisa menimbulkan gelombang tsunami yang tingginya kira-kira sama dengan yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004, sekitar 8-10 M (ada juga yang bilang tingginya sekitaran 4-6 M 'saja'). 'Berkat' ramalan bencana ini, sebagian orang luar Sumbar yang saya kenal, sampai berpikir kalau Sumatra Barat itu tidak aman. 

Padahal, Sumatra Barat itu bisa jadi seaman tempat tidur kita semua. Bencana gempa bisa terjadi di mana saja di Indonesia, karena negara kita berada di wilayah cincin api dunia, bedanya mungkin pada besaran potensi saja. Di sinilah saya pikir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB bersama program Sadar Bencananya berperan.

Peran Radio

Saya baru menyadari besarnya peran radio dalam memberikan edukasi bencana, terutama, dalam kasus saya adalah bencana gempa, saat musibah gempa 2009 itu. Semua penjelasan dan peringatan bencana yang disampaikan berulang-ulang, baik melalui iklan radio SadarBencana BNPB maupun melalui sandiwara-sandiwara singkat radio, yang saya dengar sambil jalan di mobil, ternyata langsung muncul ke permukaan memori saya, dan membantu saya menghadapi kejadian tersebut. Begitu saya sampai di luar gedung, hal pertama yang saya ingat adalah sepenggal dialog di radio yang narasinya kira-kira begini, "Jangan panik, tetaplah tenang dan ketahuilah di mana posisi Anda saat bencana terjadi." Ini membuat saya mengingat-ingat lokasi saya berada dan menerka-nerka berapa jauh jarak kampus saya dengan pantai. Dalam bencana gempa dan tsunami, mengetahui berapa jarak dengan pantai itu penting karena ini bisa menentukan keselamatan. 

Begitu ingat jarak kampus saya dengan laut antara 5-7 km, saya mulai agak tenang karena menurut info yang saya ketahui, kemungkinan besar terjangan tsunami paling kuat itu di Padang maksimal sampai jarak 1-2 km, kalau pun air laut sampai di kampus saya, maka itu sebatas aliran saja yang insyaallah tidak tinggi. Penggalan dialog berikutnya yang saya ingat adalah, "Jika Anda berada di tepi pantai, segeralah cari bangunan tinggi terdekat yang masih kuat, dan segeralah naik ke lantai paling atas untuk berlindung dari tsunami." Nah, karena saya berada cukup jauh dari pantai, maka yang perlu saya lakukan hanya menunggu di dekat bangunan tinggi, dan bersiap naik ke lantai gedung paling atas bila tsunami sungguh terjadi dan aliran air datang lebih tinggi dari perkiraan (syukur saat itu gedung-gedung di kampus saya masih kuat berdiri). 

Penggalan dialog lainnya yang saya ingat adalah, "Tsunami datang antara 5-30 menit setelah gempa terjadi." Jadi, saya menunggu selama 30 menit di lapangan kampus untuk berjaga-jaga. Memang, saat itu saya kepikiran untuk pulang karena anak saya cuma berdua di rumah dengan pengasuhnya. Tapi, di saat yang sama saya juga lega karena rumah saya ada di zona hijau tsunami, alias kawasan aman. Saya menahan diri untuk pulang sambil terus berdoa. Di saat yang sama juga yakin kalau suami saya pasti tengah berusaha untuk pulang segera juga menemui anaknya. Terserah deh siapa yang ketemu anak lebih dulu.

Akhirnya, setelah 30 menit menunggu dan tidak terjadi apa-apa (alhamdulillah), saya kemudian pulang. Begitu keluar dari kampus saya melihat ribuan orang berdesak-desakan di jalan sambil membawa kasur bahkan televisi. Mobil dan motor nyaris tak bisa bergerak karena terhambat lautan manusia. Masyaallah, jika tsunami betul-betul terjadi dan air laut menerjang sampai ke sana, entah bagaimana nasib semua orang yang terjebak macet di jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun