Mohon tunggu...
Maya Lestari Gf
Maya Lestari Gf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Novelis-blogger-traveller. mayalestarigf.com ig: @mayalestarigf twitter: @mayalestarigf

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mandeh, Keping Surga yang Tercampak ke Bumi (Bag.2)

15 Januari 2016   20:36 Diperbarui: 15 Januari 2016   20:57 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perairan Mandeh dilihat dari Pelabuhan TPI"][/caption]Bagian Kedua (bagian pertama bisa dibaca di sini)

Mandeh seperti berkerat-kerat roti yang disebarkan, lalu semut-semut datang mengerumuninya. Aku satu di antara semut yang berharap bisa mereguk gulanya. Di tepian Pantai Carocok, Pesisir Selatan, aku memandang gugusan pulau-pulau yang berserak di laut lepas. Di tubir Samudera Hindia ini aku merasa kecil sebagai manusia. Siapalah aku di antara sekian orang yang berebut menikmati manis ciptaan Tuhan? Langit sangat cerah, biru membentang mencium batas lautan. Mandeh pagi hari seperti kersen masak.

Merona dalam aroma dan manis rasa. Puluhan kapal bersandar di salah satu tepiannya. Suara mesin motor menderu memanggilku menyusuri pulau-pulaunya yang penuh rayuan. Pulau Cingkuak, Pulau Setan Kecil, Pulau Cubadak, Pulau Sironjong. “Lihatlah terumbu karangnya,” rayu seseorang padaku, “Anda bisa diving?” Sayangnya aku tidak bisa. Seharusnya aku sudah belajar bertahun lalu. Kebodohan yang terlalu lambat disadari.

Ini pagi pertama aku di Mandeh. Segala yang dimulai pertama kali, jarang bisa terlupa, demikian yang kutahu. Aku melangkahkan kaki di atas batu-batu besar yang menjaga pantai dari abrasi. Ada rasa gugup yang terlalu dalam diriku. Aku menyukai kapal, tapi takut menaikinya, betapa paradoks. Kapal bukanlah sesuatu yang baru bagiku. Semasa kecil, aku sering menaikinya. Aku besar di rumah kakekku, di Tembilahan, Kepulauan Riau. Kapal, perahu atau sampan, apa pun namanya, bukanlah hal asing. Aku ingat suka menyauk air laut yang hangat dari atas perahu. Tapi itu dulu. Seiring waktu, keberanian kanak-kanakku menyusut hingga aku sulit mengenalinya lagi. Di mana aku yang dulu? Betapa lucunya, hal-hal yang tak pernah terpikirkan, datang ke Mandeh dalam bentuk yang berbeda.

“Aku akan berlayar,” kataku pada teman seperjalananku.

“Kalau begitu kita pergi dari TPI.”

TPI atau Tempat Pelelangan Ikan adalah satu dari sekian dermaga di Mandeh. Apa yang kita sebut Mandeh sebenarnya adalah kawasan wisata terpadu yang meliputi Pantai Carocok, Pantai Batu Kalang, Pantai Salek Bondek dan gugusan pulau-pulau di lepas pantainya. Kawasan ini terletak di Kecamatan Koto XI Tarusan, berbatasan langsung dengan Padang. Ada tujuh kampung yang berada di Kawasan Wisata Mandeh ini. Sebagian penduduknya bekerja sebagai nelayan.

Aku memasuki kampung nelayan di Carocok. Bau amis ikan dan garam menguar di udara. Di halaman beberapa rumah penduduk terhampar ikan yang dijemur di atas bilah-bilah.

“Ikan asin?” tanyaku entah pada siapa. Belum tentu juga. Bisa jadi sebagian ikan yang dijemur adalah ikan kering tawar. Jenis ikan yang cukup digemari orang-orang. Di depan rumah, anak-anak berlarian telanjang dada. Kulit mereka coklat tropikal, khas anak pantai. Wajah mereka wajah laut. Tawa mereka selepas angin pantai. Aku merasa ada yang salah dengan diriku. Mestinya aku lebih banyak tertawa seperti mereka.

Lepas kampung nelayan, aku bersua TPI. Di sini, perahu motor dan kapal-kapal berbaris berjajar. Ada juga yang memilih ‘parkir’ dua puluh sampai tiga puluh meter dari pinggir pelabuhan, tergantung besar kapal. Satu yang terbesar, dengan penyeimbang di kiri kanan tegak gagah dalam jarak 30 meter. Tali tambangnya meregang setiap kali kapal digoyang gelombang. Aku berdiri di pinggir tembok pelabuhan. Mematri kapal itu dalam ingatan. Selembar foto mungkin bisa bercerita tentang pelabuhan, tapi tidak untuk rasa, aroma dan emosi yang kurasakan.

Bau laut, udara bergaram, hangat gelombang. Bagaimana selembar foto bisa menghantarkannya ke seluruh indera? Di awal perjalanan aku sudah berjanji untuk hanya memotret seperlunya. Perjalanan, bagaimana pun, lebih layak diabadikan dalam ingatan. Direnungkan dalam kesendirian. Bahwa ada yang sublim dalam setiap perjalanan, hanya bisa dirasakan, bila langkah kaki tak melulu diisi jepretan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun