Mohon tunggu...
Maya Lestari Gf
Maya Lestari Gf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Novelis-blogger-traveller. mayalestarigf.com ig: @mayalestarigf twitter: @mayalestarigf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dimana Posisi Perpustakaan Konvensional di Era Digital?

30 Mei 2016   07:37 Diperbarui: 30 Mei 2016   10:47 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mari kita mulai tulisan ini dengan satu pertanyaan: seberapa butuh kita dengan sebuah perpustakaan publik jika nyaris seluruh koleksi buku berharga dunia bisa didapatkan di ujung jari? Hampir seluruh perpustakaan besar dunia kini mengonlinekan koleksinya. Perpustakaan Kongress (Library of Congress) Amerika Serikat yang memiliki koleksi buku terbanyak di dunia (ada hampir 24 juta judul buku dalam katalognya) kini mulai mendigitalkan koleksinya. British Library juga melakukan hal serupa. Seiring waktu, kian banyak orang yang mencari buku asli seorang ilmuwan di perpustakaan-perpustakaan digital. Logikanya, jika buku asli bisa didapatkan hanya dengan satu sentuhan jari, tak kan ada orang yang mau repot-repot mengulik satu demi satu buku di perpustakaan.

Ini zaman yang seru, dimana perubahan nyaris terjadi setiap hari. Satu inovasi dibalas inovasi lainnya. Begitu terus, seakan tiada akhirnya. Inovasi mendigitalkan koleksi buku di web kini berganti dengan inovasi aplikasi. Cukup pasang aplikasi perpustakaan mana pun yang kita mau, secara otomatis, koleksi baru nanti akan ditambahkan ke gadget kita. Begitu gampang. Jika dunia ini memiliki tangkai, aku akan menjinjingnya, demikian dulu Ali bin Abi Thalib pernah berkata. Kini, dunia bukan hanya bisa dijinjing, tapi juga bisa didownload dalam sebuah aplikasi.

Berangkat dari titik inilah saya pikir, kita bisa membicarakan posisi perpustakaan di era digital.

Perpustakaan dan Mall

Perpustakaan bukan hanya soal menyimpan buku. Dengan begitu, upaya mendigitalisasi buku sesungguhnya lebih bersifat teknis, ketimbang filosofis. Sebenarnya, saingan perpustakaan publik paling keras adalah kafe-kafe, televisi, bioskop bahkan mall. Mari, bila senggang pergilah ke mall, duduklah di depannya selama satu jam, lalu, lakukan hal yang sama di perpustakaan publik. Anda akan mendapati jumlah pengunjung yang begitu senjang. Berdasarkan pengamatan saya di salah satu mall di kota Padang, pada pukul 9.30 WIB di hari kerja, ada lebih 50 pengunjung yang berdiri gelisah, menunggu mall dibuka, sementara pada jam yang sama, jumlah pengunjung sebuah perpustakaan publik di Padang tak sampai lima orang. Itu artinya, bila dilihat dari sisi pengunjung, perpustakaan publik tidak semenarik mall. Buku mungkin tidak lebih menarik dari galeri barang-barang indah dan jejeran makanan penggugah selera di mall, tapi, sebenarnya ini—menurut saya—adalah soal persepsi. Dan bila sudah berkaitan dengan ini, kita bisa mengubahnya.

Perpustakaan Publik Seharusnya

Apakah perpustakaan publik hanyalah tempat untuk menyimpan buku? Saya akan memberi tiga jawaban: pertama, perpustakaan publik memang tempat untuk menyimpan buku, bahkan bukan hanya buku, karya musik juga bisa disimpan di sini. Sebagai tempat penyimpanan, perpustakaan sudah sewajarnya memiliki manajemen kepustakaan dan layanan peminjaman yang baik. Seiring kemajuan teknologi, perpustakaan juga bisa mengembangkan hal-hal yang bersifat teknis, misalnya, digitalisasi koleksi dan keanggotaan. Lebih jauh lagi, perpustakaan bisa menyediakan wifi yang memudahkan penunjung mengakses koleksi digital perpustakaan lainnya. Semua koleksi di dalamnya adalah nafas perpustakaan. Dengan itulah, sebuah bangunan bisa kita sebut perpustakaan. 

Namun, seiring perkembangan zaman, perpustakaan tidak lagi bisa semata-mata bersandar pada ‘nafas’nya ini. Ia perlu melakukan sesuatu yang lebih, agar kedudukannya di mata publik setara dengan mall, kafe, televisi, bioskop dan media sosial. Dari sinilah kita beranjak ke jawaban kedua: yakni mengubah pustaka menjadi ruang publik yang menyenangkan.

Ada beberapa alasan mengapa orang lebih suka ke mall atau kafe, di situ mereka berupaya menghibur diri. Tak heran, bisnis hospitality sekarang menjamur di mana-mana. Penikmatnya dari ABG sampai orang tua. Di era yang serba bergegas seperti sekarang, mencari tempat untuk melepas penat menjadi mutlak. Perpustakaan publik bisa mengambil celah ini untuk menarik lebih banyak orang ke perpustakaan. Berbagai kegiatan bisa dirancang sebagai agenda tahunan. Misalnya, festival sastra, festival dongeng, nonton bareng, bahkan sekadar menjadi tempat untuk temu komunitas pun sudah baik. Perpustakaan publik bisa merangkul berbagai komunitas yang ada di sekitarnya.

Dari komunitas penulis sampai komunitas rajut. Menyediakan ruang bagi komunitas untuk membicarakan sastra, politik hingga tips-tips pengasuhan anak. Intinya, perpustakaan memposisikan diri sebagai ibu kandung masyarakat yang siap merangkul anak-anaknya untuk mengembangkan diri. Jika orang-orang terus menerus berada di lingkungan yang sangat literate, perlahan mereka akan tertarik dengan buku. Perpustakaan mulai menjadi tempat yang mengasyikkan untuk dikunjungi.

Sekarang muncul pertanyaan berikut, bagaimana jika perpustakaan tidak berhasil merangkul orang untuk datang ke perpustakaan? Jika itu yang terjadi, kita sampai ke jawaban ketiga: perpustakaan harus proaktif, datang langsung ke berbagai lembaga atau komunitas. Mengedukasi mereka terus-menerus. Istilah lainnya, jemput bola. Perpustakaan bisa menggandeng berbagai komunitas relawan untuk melakukannya. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah, (a) Datang ke sekolah-sekolah, menawarkan kerjasama pustaka keliling dan kelas menulis yang diasuh oleh para relawan perpustakaan publik, (b) mengadakan kegiatan yang bersifat rekreatif di berbagai komunitas masyarakat hingga tingkat RT/RW, seperti mendongeng. Jika hal-hal menyenangkan ini terus menerus dilakukan, lama-lama masyarakat akan tertarik dan dengan kesadaran sendiri mendatangi perpustakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun