Mohon tunggu...
Maya Madu
Maya Madu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah Hitam

26 September 2016   10:00 Diperbarui: 27 Desember 2016   17:30 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pokoknya segera cari solusi, Pak, entah Bapak mau menerima saran Aqil atau tidak terserah! Yang penting ibu tetap mau ke sana titik," suara istriku perlahan lirih seiring langkahnya yang menghilang. 

***

Anak kami--Amelia--berusia tujuhbelas tahun, dokter menvonisnya Leukimia. Pengobatan secara rutin dengan cuci darah telah rajin dilaksanakan setahun belakangan ini namun hasilnya standart--tidak menunjukkan kemajuan apa-apa. Sedangkan pengobatan herbal dari Cina, Tiongkok dan India juga dilakukan, semua itu seakan sia-sia. Pekerjaanku sebagai pengawas pabrik semen terpaksa kukorbankan demi menemani istri berobat kemana-mana. Rumah kontakan peninggalan Abah juga telah habis terjual demi pengobatan. Satu-satunya yang masih tersisa adalah tiga ekor sapi yang salah satunya milik pamong--buruh among sapi.

Konon pengobatan yang disarankan Aqil pada keluarga kami banyak yang menuai hasil, sebab Aa' Semar pemilik padepokan Semar Mendem selalu ramai oleh pasien dari berbagai pelosok Indonesia. Masih dari cerita Aqil pada kami; "Aa' orangnya sakti, Bu, waktu itu ada pasien dari Jawa Timur kena penyakit Diabetes Militus--kakinya busuk separuh dari pangkal lutut hingga ke mata kaki, sembuh karena terapi mahar kambing jantan."

"Emang diapain, Qil?" aku masih penasaran dengan cerita Aqil.

"Diobatin dengan cara Aa' dong, Pak, setiap pasien diberi jadwal kapan mereka bisa kembali sesuai dengan permintaan yang Aa' berikan, Aa' menulis keinginannya tersebut pada kain kafan juga bukan main-main, lho. Kabar yang saya dengar melalui ilhamnya," Aqil menyedot dalam-dalam kretek yang terapit di kedua jarinya.

"Terus ... terus, Qil?" aku mulai serius memerhatikan cerita yang mengalir pada mulut Aqil.

"Nah pasien yang sakit Diabetes itu disuruh mencari kambing jantan yang makannya kurma, darahnya hitam dan manis, kotorannya bukan bulat-bulat namun lembek seperti kotoran ayam, warnanya juga hitam. Yang jelas pasien dan keluarga pasien hanya bisa mendelik bagaimana mencari kambing jenis itu? Seumur-umur namanya kambing juga makan rumput atau godong-godongan, tainya juga bulet-bulet.

Di mana-mana namanya darah yah merah atau merah pekat bukan hitam. Pasti semua menolak dan tidak sanggup. Setelah keluarga pasien menyatakan ketidak sanggupannya maka, Aa' memberi solusi berupa mahar yang ditentukan rupiahnya. Untuk satu kambing jenis yang disebutkan tersebut sekitar 15 juta. Namun pengobatannya dilakukan terbuka, sehingga keluarga pasien bisa langsung melihat hasilnya," Aqil menyeruput kopi yang dihidangkan istriku.

"Tapi gak bohongan, kan?" Istriku menimpali, aku juga meyakinkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang Aqil jawab dengan rentetan ceritanya.

"Kambing yang dibawa anak buah Aa' Semar bertubuh gempal, dengan bulu-bulu yang hitam semua. Seperti gerakan karate Aa' Semar berguling-guling di tanah menarik energi yang terlihat sangat besar, lantas kaki pasien diusap dan gerakan menarik ditujukan kepada kaki kambing jantan. Dengan parang panjang dan mulutnya yang berkomat-kamit lantas disembelih kambing tersebut. Tubuhnya dibagi menjadi dua, darah yang mengalir dari kambing berwarna hitam pekak.

Setengah tubuhnya berwarna membiru dan setengahnya lagi daging merah selayaknya warna daging kambing. Daging yang membiru dikubur dan daging yang masih bagus disedekahkan, juga boleh dimakan oleh pasien. Setelah seminggu ritual mahar kambing si pasien tak lagi kembali, dengar-dengar sudah bisa berjalan kembali. Gimana, sampeyan berdua masih belum percaya apa? Saya hanya menyarankan jika mau monggo jika tidak juga ndak papa," setelah cerita panjang lebar pada kami, Aqil berpamitan pulang. Aku dan istriku seakan tersirep dengan cerita Aqil, sedang istriku seperti mempunyai semangat baru untuk kembali mencari obat buat Amelia. 

Keesokan harinya istriku ngotot ngajak ke sana-ke padepokan Semar Mendem.

Aku telah menghitung-hitung sisa harta yang kumiliki, jika kelak pengobatan anakku satu-satunya itu harus dimintai mahar, sehingga telah siap dengan segala resikonya.

"Ayo, Pak, cepet berangkat, aku sudah mendaftarkan dan menceritakan kisah anak kita, kata Aa' harus melihat kondisi yang sakit," istriku tergopoh dengan perlengkapan yang telah dipersiapkan.

Aku membopong Amelia yang sangat pucat seperti tak memiliki darah saja, wajahnya semacam pualam tak bersinar, tubuhnya lemas bagai tak ada lagi semangat kehidupan. Ia bahkan tak pernah bicara atau pun menangis. Serupa mayat hidup yang kami pelihara.

Sesampainya di padepokan Semar Mendem, kami dibawa ke suatu kamar dengan wewangian dupa. Rumah khas bangunan Jawa, ada empat gendok besar dengan tanah liat bercampur pasir bata merah. Tiap masing-masing gendok tertancap keris berpegangan tulisan Arab tanpa harakat, entah apa maksudnya. Istriku melotot tajam memberi isyarat untuk tidak melihat secara menyelidik. Mungkin tingkahku terlalu kentara sehingga ia merasa tak nyaman padaku.

Lelaki dengan udeng batik di kepalanya telah duduk bersila, kretek yang diapit disumpali gading, terlihat seperti buatan tangan, namun aku tak peduli. Yang perting saat ini ikhtiar pengobatan untuk anakku. Lelaki itu lebih banyak diam dan mendengarkan cerita istriku.

"Jika kalian bersedia, anak kalian biar dirawat di sini. Sebab pengobatan bukan hanya hitungan jam namun berkala tanpa henti. Kalian tak perlu menungguinya sebab anak buahku telah siap untuk merawatnya," asal kelabu tipis keluar dari rongga hidung lelaki berudeng tersebut. Aa' Semar pembawaannya memang angkuh, mungkin dengan gaya seperti ini dapat meyakinkan orang lain untuk mewibawainya.

"Bagaimana ini, Pak, apa kita bisa berpisah dengan Amel? Meskipun ia sakit tapi rasa sayangku tak berubah," istriku mempererat genggaman tangannya untuk meyakinkanku.

Aku mengangguk sedikit meyakinkan, "Aa' Semar lebih mengerti sakitnya anak saya, jika itu yang terbaik silahkan saja. Permisi ... berapa biaya yang harus saya persiapkan?" sembari menunduk dan mendengar berapa uang yang ia minta.

"Pak, Bu, jangan kuatir soal biaya, biarlah anakmu ini sembuh dulu, setelah itu baru siapkan biayanya," Aa' Semar membakar kretek yang kedua, tangannya tak berhenti memutar-mutar ujung kreteknya. Lagi-lagi bukan urusanku.

Setelah berpamitan dan memberikan beberapa baju ganti yang sudah kami persiapkan sebelumnya, aku memeluk tubuh anakku. Apalagi ibunya tak kuasa berpisah, beberapa kali pelukan dan ciuman di daratkan, Amelia malang hanya bisa sedikit mengapit genggaman tangan kami. Entah ia setuju atau malah tak setuju yang jelas tujuan kami untuk pengobatannya. Kami segera pulang dan mencoba mengikhlaskan.

***

Aa' Semar membawa tenaga ahli seorang anak buahnya, dengan beberapa terapi yang dilakukan dengan cara-cara tak lazim seperti umumnya. Pasien ditelanjangi bulat-bulat lantas tubuhnya dibaluri segala jenis rempah yang telah diberi ramuan obat. Setelah itu ditidurkan di sebuah alumunium foil besar dan lebar, hanya sebatas leher saja. Tubuh pasien tersebut disiramkan air mendidih yang benar-benar mendidih, lantas dibiarkan hingga alumunium foil tersebut dingin. Setelahnya baru dimandikan juga dengan air hangat dan campuran rempah.

Di sela-sela kelamin pasien terdapat cairan berwarna gelap juga dari duburnya keluar kotoran yang sangat tajam baunya. Setelah tenaga ahli tersebut membersihkan dibantu oleh Aa' Semar, lantas Aa' Semar seperti gerakan tenaga dalam tangannya bergerak-gerak di sekujur tubuh pasien lantas dibuang ke arah air bekas mandi pasien.

Amelia seperti mendapat sinar baru, warna pucat dalam tubuhnya seakan berwarna merah muda. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dan sedikit berbicara, "Terima kasih, Pak," ucapnya kala itu.

"Panggil saja saya, Aa'."

Amelia tersenyum, setelah menghabiskan makanannya ia kembali berbaring. Aa' juga meninggalkannya seorang diri.

***

Angin malam seakan mengerti waktu, bahwa suaranya lebih terdengar ketika saat ini. Kisi-kisi jendela kayu, kerai bambu dan gesekan ranting semakin jelas terdengar. Bulan juga enggan nampak, mengilhami pekatnya malam yang khusyuk. Di dalam kamar Aa' telah menyalakan dupa di empat penjuru sekaligus, tepat di sisi keris.

Perlahan langkahnya ke arah kamar Amelia, gadis lemah dengan perangai ayu tersebut dibopongnya. Saat sampai di kamar Aa' ia terbangun lantas terperangah mendapati dirinya di kamar Aa'.

"Jangan takut, Cah Ayu, ini serangkaian pengobatan, jika kamu tak kuat teriak saja di bantal ini," lelaki berambut gondrong dengan jambang panjang tersebut melepas helai demi helai pakaian yang melekat di tubuh Amelia. Perlahan dicumbuinya sang perawan tak berdaya, seluruh tubuhnya tak lepas dari intaian sang Semar. Kicau burung hantu menyayat pendengaran seiring tangisan keperawanan yang direnggut paksa lelaki yang ia anggap dapat menyembuhkannya. Teriakan Amelia sia-sia sebab Aa' Semar telah mengamankan semua anak buahnya, ia tak ingin ada yang mengetahui rencana ini. Tubuhnya berpacu sendiri, pemberontakan tubuh Amelia seakan memacu adrenaline Aa' Semar hingga ia mencapai puncak kebiadaban dan berakhir dengan cucuran keringatnya sendiri.

"Minum ini, Cah Ayu, sebab keringatku juga banyak dicari orang. Mereka mengganggap seluruh tubuhku bermanfaat. Hahahha ...," tawanya memecah malam.

Isak tangis Amelia terus saja membanjir, darah segar mengalir dari selakangannya. Aa' Semar membersihkan dengan kain kafan berpotongan kotak kecil-kecil. "Ini banyak dicari orang, Cah Ayu, sini Aa' bantu membersihkan lantas kembali tidur yah," lelaki tersebut membantu memasangkan pakaian pada tubuh Amelia. Lantas kembali membopong ke tempat tidurnya.

***

Seminggu telah berlalu, seperti perjanjian semula, bahwa Amelia dapat dijenguk. Aku dan istriku rindu sekali bertemu dan ingin tahu kemajuan apa yang didapat oleh anakku.

"Sayang, anak bapak, apa kabar?" kudaratkan ciuman dan kecupan pada pipi dan keningnya. Kupeluk erat tubuhnya, kubelai halus rambutnya, sudah enakan?" Ameliaku hanya geming.

Istriku memeluknya, juga serupa denganku menciuminya tiada henti, bahkan ia menangis disusul tangisan Amelia. Setelah sekian lama aku menginginkan air mata anakku, baru kali ini ia menangis. "Pasti rindu dengan kami, yah mungkin itu yang ia rasa," batinku menyelidik.

Istriku mengusap air matanya, "Kau bisa merasakan apa, Nak? Mengapa kau menangis? Apa kangen sama ibu dan bapak?"

Ia mengagguk kecil, tangannya meremas genggaman ibunya. Sesekali menoleh ke arah Aa' Semar.

"A' terima kasih telah berupaya menyembuhkan anak kami, maaf berapa biaya yang harus saya bayarkan?"

"Hmmm murah, kamu berikan saja satu ekor sapimu yang betina, sebab sebentar lagi ia akan hamil dan aku butuh anaknya untuk pngobatan anakmu berikutnya," ucap lelaki berudeng selendang batik tersebut. Tangannya tak perlah lepas mengapit kretek.

Degh! Aku dan istriku saling pandang, mungkin keheranan di antara kami sama. Mengapa lelaki di hadapan kami bisa mengerti jika punya sapi bahkan aku sendiri tak mengetahui jika si betina sedang hamil. "Ba-baiklah A' ... demi kebaikan bersama, sa-saya ikhlas. Biar pamong saya yang mengantarkannya ke sini." Lelaki tersebut manggut-manggut.

Air mata Amelia tak berhenti, sedikit mengeluarkan suara seperti tangis yang tertahan. Ia tak banyak bicara, hanya menginginkan pulang. Aa' Semar mengijinkan.

Kami berpamitan bersama, sesekali Amelia menoleh padanya dengan pandangan takut. Namun lelaki tersebut hanya tersenyum.

Sesampainya di rumah, Amelia kembali lemas, badannya panas namun seakan ia kedinginan dengan bibir yang bergetar. "Bu, bagaimana ini? Mengapa kembali kambuh seperti ini? Bahkan lebih parah, kita harus ke mana? Ke rumah sakit atau ke padepokan?"

"Nak, kamu kenapa, Sayang," istriku teramat cemas, ia mendekap tubuh anak semata wayang kami, "rumah sakit saja, Pak, ayo cepat. Kita panggil taxi saja biar cepat."

"Sa-sakit," ucapan lirih Amelia bersuara.

"Iya, Nak, sabar, Bapak sama ibu segera ke rumah sakit."

"Sa-kit, Bu, maafkan, Amel," kembali Amelia menangis namun ia tak banyak berbicara lagi.

Sesampainya di rumah sakit, segera beberapa perawat tanggap menyediakan tempat tidur dorong yang diarahkan padaku. Mata Amelia terpejam, genggaman tangannya juga tak sekuat saat di taxi. Namun badannya masih hangat, tapi jemari kakinya sangat pucat dan dingin. Kami tak ingin terjadi apa-apa padanya.

Seorang perawat mencari nadinya, tak berhasil di pergelangan tangan kanan, ia berganti di pergelangan tangan kiri. Terakhir nadi lehernya. Wajah perawat tersebut seakan tak bersahabat, matanya beradu dengan kerabat seprofesi. Perawat berbeda membawa sebuah alat kecil seperti cermin, didekatkan pada hidung pasiennya.

"Bu, Pak, maaf atas berita yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya anak, Ibu dan Bapak telah meninggal dunia."

"Tidakkk ..., suster gak salah kan?" tangis histeris istriku memekak hening, hingga beberapa mata menuju pada kami.

"Anak saya sudah ada perubahan kok, dia sudah mulai bicara, coba periksa lagi!" hardikku padanya. Tanganku sudah mengepal siap kubogemkan pada siapa pun. Namun apa daya takdir berkehendak lain. Kepeluk erat tubuh anakku yang sebentar lalu berbicara. Siapa yang hendak disalahkan, Aa' Semar kah? Atau Tuhan yang tak menghendaki kami bahagia.

"Permisi, Bu, Pak, apakah jenasah mau dimandikan di sini?" jelas perawat yang lain pula.

"I-iya sudah, Sus, silahkan dimandikan. Tolong baju yang dipakai dibungkus saja, Suster, sebab itu kenang-kenangan terakhir anak kami," aku memeluk istriku yang tak bertenaga, tangisnya tak bersuara hanya sesekali isaknya memuncak, bahkan beberapa kali kesulitan bernapas. "Sabar, Bu, kita harus ikhlas," sekuat-kuatnya lelaki jika kehilangan sesuatu yang sangat dicintai pasti mengeluarkan air mata. Walau sedikit yang dapat kukeluarkan, namun gemuruh di dada sangat membakar jiwa.

***

Tubuh Amelia telah terbungkus kafan, namun wajahnya mengisyaratkan kelelahan, paras ayunya masih terpulas samar. Seorang perawat memberikan bungkusan baju yang melekat pada Amelia, setelah ia dikafani.

"Permisi, Pak, tadi kami sebelum memandikan mendapati darah segar di maaf-"  perawat tersebut belum selesai berbicara, seakan menata apa yang hendak diucapkannya.

"Kami, saya dan dua teman saya mendapati darah segar yang masih keluar di lubang kemaluan anak bapak, sebelumnya anak Bapak mempunyai kronologi sakit apa?"

"Anak saya telah lama mengidap Leukimia, Sus, namun tadi pagi saat saya menjemputnya keadaannya masih baik-baik saja. Dia bahka sudah dapat duduk bersandar sendiri dan menangis, serta mengatakan kata sakit," aku memaparkan pada kedua perawat tersebut.

"Jika, Bapak ingin pemeriksaan lebih lanjut penyebab kematian anak bapak harus melalui tes medis; bisa melalui autopsi, apakah Bapk bersedia?"

"Tidak! Anakku telah mati, aku tak sudi badannya dirusak, ayo, Pak, segera bawa pulang anak kita. Bapak selesaikan administrasinya." Istriku terlihat sangat terpukul dengan kepergian anak kami.

Dengan menyewa ambulance kami membawa jenasah Amelia. Namun saat tiba di rumah, aku dikejutkan oleh pamong yang telah memersiapkan kebutuhan kematian. Dari tanda kematian hingga amben untuk jenasah.

Lagi-lagi aku dan istriku dikejutkan oleh hal-hal yang tak masuk dalam rasio. "Kenapa, Pak Min, tahu yah, Pak?" pertabyaan istriku juga mewakili pertanyaanku.

"Entahlah, Bu, nanti bapak tanya saja saat selesai acara pemakaman biar enak bicaranya," aku berusaha menenangkan istriku.

***

Pemakaman anak gadisku telah selesai, doa bersama juga telah dipanjatkan. Pak Min masih di sana, sepertinya ia juga ingin berbicara padaku.

"Iya, Pak Min, ada apa?" tanyaku padanya.

"Nganu, Gan, niku kula dititipi amanat saking Aa' Semar. Tirose baju Nak Amelia suruh dibawa ke sana, katanya itu-" Pak Min seperti susah bercerita, entah masalahnya di mana? Hingga baju anak saya juga masih diributkan.

"Kenapa dengan Aa'? Bukannga sapi betina sudah kamu antar ke sana sesuai perintahku? Minta apalagi, toh anakku juga sudah mati," darahku kembali bergemuruh, setelah keikhlasan kematian anakku satu-satunya.

"Tak tahu saya, Gan, hanya menyampaikan saja," Pak Min seakan ketakutan.

"Sebentar, Pak Min, saat saya dan ibu tak ada di rumah apakah ada orang yang mencari saya?"

"Hmmm, selain Pak Yanto yang biasa beli kompos dan satu lagi lelaki yang ngobrol sama saya, Gan, awalnya tanya Juragan lantas lama-lama tanya tentang sapi-sapi yang saya rawat di dalam."

"Apalagi, Pak Min, siapa nama lelaki itu? Lantas Pak Min cerita apa saja?"

"Ya ndak cerita apa-apa, Gan, wong dia tanya sapinya sehat-sehat terus pegang yang betina itu kok, yah saya ceritakan kalau betinanya sedang mulai hamil jadi sering marah jika ada orang baru dikenal, begitu."

Degh ... penjelasan Pak Min semakin membuat darahku mendidih. Benang merah tentang Aa' Semar semakin nampak sepak terjangnya. Bahwa Si Semar itu bukan bisa menebak, namun memang ada yang memberi tahu. Seharusnya aku beritahukan ini pada istriku namun aku takut semakin melukai hatinya, perasaan sedih dengan  keadaan berkabung sangat tidak tepat bercerita apa-apa.

Kuputuskan datang ke padepokan esok harinya, berharap dapat mengetahui maksud Si Semar Gendeng itu. Perlahan aku mulai kehilangan kesabaran, dari bukti-bukti yang muncul dipermukaan.

"Permisi, A'. Ada apa mencari saya, maksud saya mencari baju anak saya?" aku tak gentar atau sungkan padanya--lelaki yang kini menggunakan pakaian serba putih itu.

Senyum culasnya seakan mengejek keadaanku, kuikuti saja apa keinginannya.

"Aku hanya ingin baju terakhir anak perawanmu itu," seperti biasa Aa' Semar menghisap kreteknya dalam-dalam.

"Apalagi yang sampeyan inginkan dari kami, A'. Saya tahu bahwa sampeyan bukan bisa menebak keadaan sapi betinaku itu, namun memang ada yang memberitahu. Apalagi yang sampeyan inginkan setelah anak satu-satunya mati dengan keadaan kesakitan!" aku mendengus kesal, seakan ingin saja kuludahi lelaki itu, persetan dengan kesaktian yang ia miliki.

Anak buah Aa' Semar segera mendekat, namun aku sigap dengan keadaan, adu mulut tak dapat terelakkan, hingga Aa' Semar mengusirku dengan kata-kata yang memekak gendang telinga.

"Aku butuh darah hitam perawan yang ada pada anakmu itu, sebab hanya aku yang bisa menjadikan dia sajen kesaktian. Hahahahha," tawanya menggema diiringi tarikan kasar anak buah Aa' Semar padaku.

Sekarang aku tahu dan hanya bisa menyesali, mengapa aku harus datang ke tempat biadap ini. Biarlah rahasia ini kupendam sendiri, tanpa istriku tahu bahwa anak semata wayang kami telah dijamah olehnya. "Semoga kau tenang di sana, Sayangku," batinku nelangsa.

Sesampainya di rumah kuputuskan untuk mencuci baju yang dikenakan Amelia sebelum kematiannya, sehingga tak ada lagi jejak yang diinginkan. Semoga saja tak menimbulkan kecurigaan pada istriku[*]

Malang, 25 Juli 2016
Maya Madu

  ***

Anak kami--Amelia--berusia tujuhbelas tahun, dokter menvonisnya Leukimia. Pengobatan secara rutin dengan cuci darah telah rajin dilaksanakan setahun belakangan ini namun hasilnya standart--tidak menunjukkan kemajuan apa-apa. Sedangkan pengobatan herbal dari Cina, Tiongkok dan India juga dilakukan, semua itu seakan sia-sia. Pekerjaanku sebagai pengawas pabrik semen terpaksa kukorbankan demi menemani istri berobat kemana-mana. Rumah kontakan peninggalan Abah juga telah habis terjual demi pengobatan. Satu-satunya yang masih tersisa adalah tiga ekor sapi yang salah satunya milik pamong--buruh among sapi.

Konon pengobatan yang disarankan Aqil pada keluarga kami banyak yang menuai hasil, sebab Aa' Semar pemilik padepokan Semar Mendem selalu ramai oleh pasien dari berbagai pelosok Indonesia. Masih dari cerita Aqil pada kami; "Aa' orangnya sakti, Bu, waktu itu ada pasien dari Jawa Timur kena penyakit Diabetes Militus--kakinya busuk separuh dari pangkal lutut hingga ke mata kaki, sembuh karena terapi mahar kambing jantan."

"Emang diapain, Qil?" aku masih penasaran dengan cerita Aqil.

"Diobatin dengan cara Aa' dong, Pak, setiap pasien diberi jadwal kapan mereka bisa kembali sesuai dengan permintaan yang Aa' berikan, Aa' menulis keinginannya tersebut pada kain kafan juga bukan main-main, lho. Kabar yang saya dengar melalui ilhamnya," Aqil menyedot dalam-dalam kretek yang terapit di kedua jarinya.

"Terus ... terus, Qil?" aku mulai serius memerhatikan cerita yang mengalir pada mulut Aqil.

"Nah pasien yang sakit Diabetes itu disuruh mencari kambing jantan yang makannya kurma, darahnya hitam dan manis, kotorannya bukan bulat-bulat namun lembek seperti kotoran ayam, warnanya juga hitam. Yang jelas pasien dan keluarga pasien hanya bisa mendelik bagaimana mencari kambing jenis itu? Seumur-umur namanya kambing juga makan rumput atau godong-godongan, tainya juga bulet-bulet. Di mana-mana namanya darah yah merah atau merah pekat bukan hitam.

Pasti semua menolak dan tidak sanggup. Setelah keluarga pasien menyatakan ketidak sanggupannya maka, Aa' memberi solusi berupa mahar yang ditentukan rupiahnya. Untuk satu kambing jenis yang disebutkan tersebut sekitar 15 juta. Namun pengobatannya dilakukan terbuka, sehingga keluarga pasien bisa langsung melihat hasilnya," Aqil menyeruput kopi yang dihidangkan istriku.

"Tapi gak bohongan, kan?" Istriku menimpali, aku juga meyakinkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang Aqil jawab dengan rentetan ceritanya.

"Kambing yang dibawa anak buah Aa' Semar bertubuh gempal, dengan bulu-bulu yang hitam semua. Seperti gerakan karate Aa' Semar berguling-guling di tanah menarik energi yang terlihat sangat besar, lantas kaki pasien diusap dan gerakan menarik ditujukan kepada kaki kambing jantan. Dengan parang panjang dan mulutnya yang berkomat-kamit lantas disembelih kambing tersebut. Tubuhnya dibagi menjadi dua, darah yang mengalir dari kambing berwarna hitam pekak.

Setengah tubuhnya berwarna membiru dan setengahnya lagi daging merah selayaknya warna daging kambing. Daging yang membiru dikubur dan daging yang masih bagus disedekahkan, juga boleh dimakan oleh pasien. Setelah seminggu ritual mahar kambing si pasien tak lagi kembali, dengar-dengar sudah bisa berjalan kembali. Gimana, sampeyan berdua masih belum percaya apa? Saya hanya menyarankan jika mau monggo jika tidak juga ndak papa," setelah cerita panjang lebar pada kami, Aqil berpamitan pulang. Aku dan istriku seakan tersirep dengan cerita Aqil, sedang istriku seperti mempunyai semangat baru untuk kembali mencari obat buat Amelia.

Keesokan harinya istriku ngotot ngajak ke sana-ke padepokan Semar Mendem.

Aku telah menghitung-hitung sisa harta yang kumiliki, jika kelak pengobatan anakku satu-satunya itu harus dimintai mahar, sehingga telah siap dengan segala resikonya.

"Ayo, Pak, cepet berangkat, aku sudah mendaftarkan dan menceritakan kisah anak kita, kata Aa' harus melihat kondisi yang sakit," istriku tergopoh dengan perlengkapan yang telah dipersiapkan.

Aku membopong Amelia yang sangat pucat seperti tak memiliki darah saja, wajahnya semacam pualam tak bersinar, tubuhnya lemas bagai tak ada lagi semangat kehidupan. Ia bahkan tak pernah bicara atau pun menangis. Serupa mayat hidup yang kami pelihara.

Sesampainya di padepokan Semar Mendem, kami dibawa ke suatu kamar dengan wewangian dupa. Rumah khas bangunan Jawa, ada empat gendok besar dengan tanah liat bercampur pasir bata merah. Tiap masing-masing gendok tertancap keris berpegangan tulisan Arab tanpa harakat, entah apa maksudnya. Istriku melotot tajam memberi isyarat untuk tidak melihat secara menyelidik. Mungkin tingkahku terlalu kentara sehingga ia merasa tak nyaman padaku.

Lelaki dengan udeng batik di kepalanya telah duduk bersila, kretek yang diapit disumpali gading, terlihat seperti buatan tangan, namun aku tak peduli. Yang perting saat ini ikhtiar pengobatan untuk anakku. Lelaki itu lebih banyak diam dan mendengarkan cerita istriku.

"Jika kalian bersedia, anak kalian biar dirawat di sini. Sebab pengobatan bukan hanya hitungan jam namun berkala tanpa henti. Kalian tak perlu menungguinya sebab anak buahku telah siap untuk merawatnya," asal kelabu tipis keluar dari rongga hidung lelaki berudeng tersebut. Aa' Semar pembawaannya memang angkuh, mungkin dengan gaya seperti ini dapat meyakinkan orang lain untuk mewibawainya.

"Bagaimana ini, Pak, apa kita bisa berpisah dengan Amel? Meskipun ia sakit tapi rasa sayangku tak berubah," istriku mempererat genggaman tangannya untuk meyakinkanku.

Aku mengangguk sedikit meyakinkan, "Aa' Semar lebih mengerti sakitnya anak saya, jika itu yang terbaik silahkan saja. Permisi ... berapa biaya yang harus saya persiapkan?" sembari menunduk dan mendengar berapa uang yang ia minta.

"Pak, Bu, jangan kuatir soal biaya, biarlah anakmu ini sembuh dulu, setelah itu baru siapkan biayanya," Aa' Semar membakar kretek yang kedua, tangannya tak berhenti memutar-mutar ujung kreteknya. Lagi-lagi bukan urusanku.

Setelah berpamitan dan memberikan beberapa baju ganti yang sudah kami persiapkan sebelumnya, aku memeluk tubuh anakku. Apalagi ibunya tak kuasa berpisah, beberapa kali pelukan dan ciuman di daratkan, Amelia malang hanya bisa sedikit mengapit genggaman tangan kami. Entah ia setuju atau malah tak setuju yang jelas tujuan kami untuk pengobatannya. Kami segera pulang dan mencoba mengikhlaskan.

***

Aa' Semar membawa tenaga ahli seorang anak buahnya, dengan beberapa terapi yang dilakukan dengan cara-cara tak lazim seperti umumnya. Pasien ditelanjangi bulat-bulat lantas tubuhnya dibaluri segala jenis rempah yang telah diberi ramuan obat. Setelah itu ditidurkan di sebuah alumunium foil besar dan lebar, hanya sebatas leher saja. Tubuh pasien tersebut disiramkan air mendidih yang benar-benar mendidih, lantas dibiarkan hingga alumunium foil tersebut dingin. Setelahnya baru dimandikan juga dengan air hangat dan campuran rempah.

Di sela-sela kelamin pasien terdapat cairan berwarna gelap juga dari duburnya keluar kotoran yang sangat tajam baunya. Setelah tenaga ahli tersebut membersihkan dibantu oleh Aa' Semar, lantas Aa' Semar seperti gerakan tenaga dalam tangannya bergerak-gerak di sekujur tubuh pasien lantas dibuang ke arah air bekas mandi pasien.

Amelia seperti mendapat sinar baru, warna pucat dalam tubuhnya seakan berwarna merah muda. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dan sedikit berbicara, "Terima kasih, Pak," ucapnya kala itu.

"Panggil saja saya, Aa'."

Amelia tersenyum, setelah menghabiskan makanannya ia kembali berbaring. Aa' juga meninggalkannya seorang diri.

***

Angin malam seakan mengerti waktu, bahwa suaranya lebih terdengar ketika saat ini. Kisi-kisi jendela kayu, kerai bambu dan gesekan ranting semakin jelas terdengar. Bulan juga enggan nampak, mengilhami pekatnya malam yang khusyuk. Di dalam kamar Aa' telah menyalakan dupa di empat penjuru sekaligus, tepat di sisi keris.

Perlahan langkahnya ke arah kamar Amelia, gadis lemah dengan perangai ayu tersebut dibopongnya. Saat sampai di kamar Aa' ia terbangun lantas terperangah mendapati dirinya di kamar Aa'.

"Jangan takut, Cah Ayu, ini serangkaian pengobatan, jika kamu tak kuat teriak saja di bantal ini," lelaki berambut gondrong dengan jambang panjang tersebut melepas helai demi helai pakaian yang melekat di tubuh Amelia. Perlahan dicumbuinya sang perawan tak berdaya, seluruh tubuhnya tak lepas dari intaian sang Semar.

Kicau burung hantu menyayat pendengaran seiring tangisan keperawanan yang direnggut paksa lelaki yang ia anggap dapat menyembuhkannya. Teriakan Amelia sia-sia sebab Aa' Semar telah mengamankan semua anak buahnya, ia tak ingin ada yang mengetahui rencana ini. Tubuhnya berpacu sendiri, pemberontakan tubuh Amelia seakan memacu adrenaline Aa' Semar hingga ia mencapai puncak kebiadaban dan berakhir dengan cucuran keringatnya sendiri.

"Minum ini, Cah Ayu, sebab keringatku juga banyak dicari orang. Mereka mengganggap seluruh tubuhku bermanfaat. Hahahha ...," tawanya memecah malam.

Isak tangis Amelia terus saja membanjir, darah segar mengalir dari selakangannya. Aa' Semar membersihkan dengan kain kafan berpotongan kotak kecil-kecil. "Ini banyak dicari orang, Cah Ayu, sini Aa' bantu membersihkan lantas kembali tidur yah," lelaki tersebut membantu memasangkan pakaian pada tubuh Amelia. Lantas kembali membopong ke tempat tidurnya.

***

Seminggu telah berlalu, seperti perjanjian semula, bahwa Amelia dapat dijenguk. Aku dan istriku rindu sekali bertemu dan ingin tahu kemajuan apa yang didapat oleh anakku.

"Sayang, anak bapak, apa kabar?" kudaratkan ciuman dan kecupan pada pipi dan keningnya. Kupeluk erat tubuhnya, kubelai halus rambutnya, sudah enakan?" Ameliaku hanya geming.

Istriku memeluknya, juga serupa denganku menciuminya tiada henti, bahkan ia menangis disusul tangisan Amelia. Setelah sekian lama aku menginginkan air mata anakku, baru kali ini ia menangis. "Pasti rindu dengan kami, yah mungkin itu yang ia rasa," batinku menyelidik.

Istriku mengusap air matanya, "Kau bisa merasakan apa, Nak? Mengapa kau menangis? Apa kangen sama ibu dan bapak?"

Ia mengagguk kecil, tangannya meremas genggaman ibunya. Sesekali menoleh ke arah Aa' Semar.

"A' terima kasih telah berupaya menyembuhkan anak kami, maaf berapa biaya yang harus saya bayarkan?"

"Hmmm murah, kamu berikan saja satu ekor sapimu yang betina, sebab sebentar lagi ia akan hamil dan aku butuh anaknya untuk pngobatan anakmu berikutnya," ucap lelaki berudeng selendang batik tersebut. Tangannya tak perlah lepas mengapit kretek.

Degh! Aku dan istriku saling pandang, mungkin keheranan di antara kami sama. Mengapa lelaki di hadapan kami bisa mengerti jika punya sapi bahkan aku sendiri tak mengetahui jika si betina sedang hamil. "Ba-baiklah A' ... demi kebaikan bersama, sa-saya ikhlas. Biar pamong saya yang mengantarkannya ke sini." Lelaki tersebut manggut-manggut.

Air mata Amelia tak berhenti, sedikit mengeluarkan suara seperti tangis yang tertahan. Ia tak banyak bicara, hanya menginginkan pulang. Aa' Semar mengijinkan.

Kami berpamitan bersama, sesekali Amelia menoleh padanya dengan pandangan takut. Namun lelaki tersebut hanya tersenyum.

Sesampainya di rumah, Amelia kembali lemas, badannya panas namun seakan ia kedinginan dengan bibir yang bergetar. "Bu, bagaimana ini? Mengapa kembali kambuh seperti ini? Bahkan lebih parah, kita harus ke mana? Ke rumah sakit atau ke padepokan?"

"Nak, kamu kenapa, Sayang," istriku teramat cemas, ia mendekap tubuh anak semata wayang kami, "rumah sakit saja, Pak, ayo cepat. Kita panggil taxi saja biar cepat."

"Sa-sakit," ucapan lirih Amelia bersuara.

"Iya, Nak, sabar, Bapak sama ibu segera ke rumah sakit."

"Sa-kit, Bu, maafkan, Amel," kembali Amelia menangis namun ia tak banyak berbicara lagi.

Sesampainya di rumah sakit, segera beberapa perawat tanggap menyediakan tempat tidur dorong yang diarahkan padaku. Mata Amelia terpejam, genggaman tangannya juga tak sekuat saat di taxi. Namun badannya masih hangat, tapi jemari kakinya sangat pucat dan dingin. Kami tak ingin terjadi apa-apa padanya.

Seorang perawat mencari nadinya, tak berhasil di pergelangan tangan kanan, ia berganti di pergelangan tangan kiri. Terakhir nadi lehernya. Wajah perawat tersebut seakan tak bersahabat, matanya beradu dengan kerabat seprofesi. Perawat berbeda membawa sebuah alat kecil seperti cermin, didekatkan pada hidung pasiennya.

"Bu, Pak, maaf atas berita yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya anak, Ibu dan Bapak telah meninggal dunia."

"Tidakkk ..., suster gak salah kan?" tangis histeris istriku memekak hening, hingga beberapa mata menuju pada kami.

"Anak saya sudah ada perubahan kok, dia sudah mulai bicara, coba periksa lagi!" hardikku padanya. Tanganku sudah mengepal siap kubogemkan pada siapa pun. Namun apa daya takdir berkehendak lain. Kepeluk erat tubuh anakku yang sebentar lalu berbicara. Siapa yang hendak disalahkan, Aa' Semar kah? Atau Tuhan yang tak menghendaki kami bahagia.

"Permisi, Bu, Pak, apakah jenasah mau dimandikan di sini?" jelas perawat yang lain pula.

"I-iya sudah, Sus, silahkan dimandikan. Tolong baju yang dipakai dibungkus saja, Suster, sebab itu kenang-kenangan terakhir anak kami," aku memeluk istriku yang tak bertenaga, tangisnya tak bersuara hanya sesekali isaknya memuncak, bahkan beberapa kali kesulitan bernapas. "Sabar, Bu, kita harus ikhlas," sekuat-kuatnya lelaki jika kehilangan sesuatu yang sangat dicintai pasti mengeluarkan air mata. Walau sedikit yang dapat kukeluarkan, namun gemuruh di dada sangat membakar jiwa.

***

Tubuh Amelia telah terbungkus kafan, namun wajahnya mengisyaratkan kelelahan, paras ayunya masih terpulas samar. Seorang perawat memberikan bungkusan baju yang melekat pada Amelia, setelah ia dikafani.

"Permisi, Pak, tadi kami sebelum memandikan mendapati darah segar di maaf-"  perawat tersebut belum selesai berbicara, seakan menata apa yang hendak diucapkannya.

"Kami, saya dan dua teman saya mendapati darah segar yang masih keluar di lubang kemaluan anak bapak, sebelumnya anak Bapak mempunyai kronologi sakit apa?"

"Anak saya telah lama mengidap Leukimia, Sus, namun tadi pagi saat saya menjemputnya keadaannya masih baik-baik saja. Dia bahka sudah dapat duduk bersandar sendiri dan menangis, serta mengatakan kata sakit," aku memaparkan pada kedua perawat tersebut.

"Jika, Bapak ingin pemeriksaan lebih lanjut penyebab kematian anak bapak harus melalui tes medis; bisa melalui autopsi, apakah Bapk bersedia?"

"Tidak! Anakku telah mati, aku tak sudi badannya dirusak, ayo, Pak, segera bawa pulang anak kita. Bapak selesaikan administrasinya." Istriku terlihat sangat terpukul dengan kepergian anak kami.

Dengan menyewa ambulance kami membawa jenasah Amelia. Namun saat tiba di rumah, aku dikejutkan oleh pamong yang telah memersiapkan kebutuhan kematian. Dari tanda kematian hingga amben untuk jenasah.

Lagi-lagi aku dan istriku dikejutkan oleh hal-hal yang tak masuk dalam rasio. "Kenapa, Pak Min, tahu yah, Pak?" pertabyaan istriku juga mewakili pertanyaanku.

"Entahlah, Bu, nanti bapak tanya saja saat selesai acara pemakaman biar enak bicaranya," aku berusaha menenangkan istriku.

***

Pemakaman anak gadisku telah selesai, doa bersama juga telah dipanjatkan. Pak Min masih di sana, sepertinya ia juga ingin berbicara padaku.

"Iya, Pak Min, ada apa?" tanyaku padanya.

"Nganu, Gan, niku kula dititipi amanat saking Aa' Semar. Tirose baju Nak Amelia suruh dibawa ke sana, katanya itu-" Pak Min seperti susah bercerita, entah masalahnya di mana? Hingga baju anak saya juga masih diributkan.

"Kenapa dengan Aa'? Bukannga sapi betina sudah kamu antar ke sana sesuai perintahku? Minta apalagi, toh anakku juga sudah mati," darahku kembali bergemuruh, setelah keikhlasan kematian anakku satu-satunya.

"Tak tahu saya, Gan, hanya menyampaikan saja," Pak Min seakan ketakutan.

"Sebentar, Pak Min, saat saya dan ibu tak ada di rumah apakah ada orang yang mencari saya?"

"Hmmm, selain Pak Yanto yang biasa beli kompos dan satu lagi lelaki yang ngobrol sama saya, Gan, awalnya tanya Juragan lantas lama-lama tanya tentang sapi-sapi yang saya rawat di dalam."

"Apalagi, Pak Min, siapa nama lelaki itu? Lantas Pak Min cerita apa saja?"

"Ya ndak cerita apa-apa, Gan, wong dia tanya sapinya sehat-sehat terus pegang yang betina itu kok, yah saya ceritakan kalau betinanya sedang mulai hamil jadi sering marah jika ada orang baru dikenal, begitu."

Degh ... penjelasan Pak Min semakin membuat darahku mendidih. Benang merah tentang Aa' Semar semakin nampak sepak terjangnya. Bahwa Si Semar itu bukan bisa menebak, namun memang ada yang memberi tahu. Seharusnya aku beritahukan ini pada istriku namun aku takut semakin melukai hatinya, perasaan sedih dengan  keadaan berkabung sangat tidak tepat bercerita apa-apa.

Kuputuskan datang ke padepokan esok harinya, berharap dapat mengetahui maksud Si Semar Gendeng itu. Perlahan aku mulai kehilangan kesabaran, dari bukti-bukti yang muncul dipermukaan.

"Permisi, A'. Ada apa mencari saya, maksud saya mencari baju anak saya?" aku tak gentar atau sungkan padanya--lelaki yang kini menggunakan pakaian serba putih itu.

Senyum culasnya seakan mengejek keadaanku, kuikuti saja apa keinginannya.

"Aku hanya ingin baju terakhir anak perawanmu itu," seperti biasa Aa' Semar menghisap kreteknya dalam-dalam.

"Apalagi yang sampeyan inginkan dari kami, A'. Saya tahu bahwa sampeyan bukan bisa menebak keadaan sapi betinaku itu, namun memang ada yang memberitahu. Apalagi yang sampeyan inginkan setelah anak satu-satunya mati dengan keadaan kesakitan!" aku mendengus kesal, seakan ingin saja kuludahi lelaki itu, persetan dengan kesaktian yang ia miliki.

Anak buah Aa' Semar segera mendekat, namun aku sigap dengan keadaan, adu mulut tak dapat terelakkan, hingga Aa' Semar mengusirku dengan kata-kata yang memekak gendang telinga.

"Aku butuh darah hitam perawan yang ada pada anakmu itu, sebab hanya aku yang bisa menjadikan dia sajen kesaktian. Hahahahha," tawanya menggema diiringi tarikan kasar anak buah Aa' Semar padaku.

Sekarang aku tahu dan hanya bisa menyesali, mengapa aku harus datang ke tempat biadap ini. Biarlah rahasia ini kupendam sendiri, tanpa istriku tahu bahwa anak semata wayang kami telah dijamah olehnya. "Semoga kau tenang di sana, Sayangku," batinku nelangsa.

Sesampainya di rumah kuputuskan untuk mencuci baju yang dikenakan Amelia sebelum kematiannya, sehingga tak ada lagi jejak yang diinginkan. Semoga saja tak menimbulkan kecurigaan pada istriku[*]

Penulis : Maya Madu

Malang, 25 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun