"Minum ini, Cah Ayu, sebab keringatku juga banyak dicari orang. Mereka mengganggap seluruh tubuhku bermanfaat. Hahahha ...," tawanya memecah malam.
Isak tangis Amelia terus saja membanjir, darah segar mengalir dari selakangannya. Aa' Semar membersihkan dengan kain kafan berpotongan kotak kecil-kecil. "Ini banyak dicari orang, Cah Ayu, sini Aa' bantu membersihkan lantas kembali tidur yah," lelaki tersebut membantu memasangkan pakaian pada tubuh Amelia. Lantas kembali membopong ke tempat tidurnya.
***
Seminggu telah berlalu, seperti perjanjian semula, bahwa Amelia dapat dijenguk. Aku dan istriku rindu sekali bertemu dan ingin tahu kemajuan apa yang didapat oleh anakku.
"Sayang, anak bapak, apa kabar?" kudaratkan ciuman dan kecupan pada pipi dan keningnya. Kupeluk erat tubuhnya, kubelai halus rambutnya, sudah enakan?" Ameliaku hanya geming.
Istriku memeluknya, juga serupa denganku menciuminya tiada henti, bahkan ia menangis disusul tangisan Amelia. Setelah sekian lama aku menginginkan air mata anakku, baru kali ini ia menangis. "Pasti rindu dengan kami, yah mungkin itu yang ia rasa," batinku menyelidik.
Istriku mengusap air matanya, "Kau bisa merasakan apa, Nak? Mengapa kau menangis? Apa kangen sama ibu dan bapak?"
Ia mengagguk kecil, tangannya meremas genggaman ibunya. Sesekali menoleh ke arah Aa' Semar.
"A' terima kasih telah berupaya menyembuhkan anak kami, maaf berapa biaya yang harus saya bayarkan?"
"Hmmm murah, kamu berikan saja satu ekor sapimu yang betina, sebab sebentar lagi ia akan hamil dan aku butuh anaknya untuk pngobatan anakmu berikutnya," ucap lelaki berudeng selendang batik tersebut. Tangannya tak perlah lepas mengapit kretek.
Degh! Aku dan istriku saling pandang, mungkin keheranan di antara kami sama. Mengapa lelaki di hadapan kami bisa mengerti jika punya sapi bahkan aku sendiri tak mengetahui jika si betina sedang hamil. "Ba-baiklah A' ... demi kebaikan bersama, sa-saya ikhlas. Biar pamong saya yang mengantarkannya ke sini." Lelaki tersebut manggut-manggut.