Mohon tunggu...
Maya Puspitasari
Maya Puspitasari Mohon Tunggu... Dosen - Profil

Ibu dari dua orang anak, pegiat homeschooling, penyuka film, penikmat musik dan pemerhati pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Kami Mendengar, Kami Taat"

19 November 2020   10:11 Diperbarui: 19 November 2020   10:20 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hingga beberapa hari yang lalu, saya masih memiliki pemahaman bahwa sami'na wa atha'na yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah saw adalah menerima apapun yang disampaikan oleh Rasulullah saw. "Kami mendengar dan kami taat" kerap kali diungkapkan oleh sahabat dalam berbagai kesempatan. Namun, jika kita menilik berbagai sirah Rasulullah, ada beberapa peristiwa dimana sikap sami'na wa atha'na ini tidak serta merta dilakukan oleh para Sahabat.

Banyak kisah para Sahabat bertanya lebih dahulu apakah keputusan Rasulullah saw merupakan wahyu atau pendapat Beliau sendiri. Jika apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw berupa wahyu, mereka akan segera melaksanakannya. Namun jika berupa pendapat, para Sahabat bisa melakukan keberatan atau mengajukan saran yang lain.

Dalam memutuskan strategi perang Khandaq misalnya, Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin tidak serta merta menggunakan pendapat pribadi dalam menetapkan strategi perang yang akan diambil. Setelah perundingan panjang, ide cemerlang Salam al-Farisi lah yang dijadikan sebagai strategi perang. Padahal Salman al-Farisi pada saat itu adalah sosok asing yang baru saja masuk Islam. Rasulullah saw menerima idenya dan dari ide Salman al-Farisi inilah kemenangan bisa didapat oleh kaum Muslimin.

Dalam peristiwa Hudaibiyah, para Sahabat pun tidak langsung menyatakan ketaatannya terhadap pemimpin mereka. Ketika Rasulullah saw memutuskan akan melakukan perjanjian dengan kaum Quraisy, kaum muslimin malah memperlihatkan ketidaksetujuannya. Perjanjian yang dilakukan oleh Nabi mereka dianggap lebih memihak pada kaum Quraisy dibanding kemaslahatan kaum Muslimin. Apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin saat itu? Banyak dari mereka yang melakukan penolakan dan kemarahan termasuk sahabat Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu dan Umar bin Khatthab radiyallahu anhu.

Jika sikap "kami mendengar dan kami taat" itu memang menjadi pedoman untuk menerima setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw, bukankah kaum Muslimin saat perjanjian Hudaibiyah juga seharusnya menerima apa yang sudah diputuskan oleh Rasulullah saw? Alih-alih menerima dengan lapang dada, saat itu para Sahabat sempat mendiamkan Rasulullah saw dan menunjukkan kemarahan mereka.

Di sini ada indikasi bahwa tidak selamanya sami'na wa atha'na itu diterapkan oleh para sahabat. Dan beberapa hal yang diucapkan oleh Rasulullah saw tidak menunjukkan keputusan prerogatif yang tidak boleh dibantah. Sikap yang dilakukan oleh kaum Muslimin saat perjanjian Hudaibiyah mengimplikasikan bahwa Rasulullah saw bukanlah Tuhan yang seluruh ucapan atau perbuatannya adalah keputusan yang harus diterima dan diamini. Rasulullah saw adalah manusia yang dalam sirahnya menunjukkan agar kaum Muslimin tidak menuhankan Beliau sehingga jika ada kesalahan pun kaum Muslimin tidak dibolehkan untuk mengingatkan.

Maka sungguh mengherankan jika hari ini kita menyaksikan ulama yang dielu-elukan dan semua yang terucap dari bibirnya sebagai sebuah kebenaran yang tidak boleh terbantahkan. Bahkan hari ini kita melihat ulama yang merupakan pewaris Nabi tapi tidak mencerminkan diri sebagai sosok yang menjalankan sunnah-sunnahnya. Di negeri ini betapa banyak ulama yang membenarkan semua pendapat mereka dan menyalahkan pendapat yang lain. Dan sungguh aneh jika pengikut seorang ulama mengikuti apapun yang diucapkan atau dilakukan terlepas ucapan atau tindakannya benar atau tidak. Bukankah tindakan tersebut mengindikasikan bahwa mereka memposisikan ulama tersebut lebih mulia dibanding Rasulullah saw?

Rasulullah saw dan para sahabat mengajarkan bahwa bentuk cinta pada Rasulullah bukan berarti sami'na wa atha'na terhadap apapun sikap Rasulullah meskipun kaum Muslimin merasa bahwa Rasulullah saw melakukan kesalahan. Rasulullah menunjukkan bahwa Ia sebagai suri tauladan pemimpin yang mengenyampingkan egonya dan mau menerima pendapat orang lain jika ada kebenaran atau maslahat lebih baik di dalamnya. Rasulullah bukanlah sosok arogan yang merasa diri kebal hukum dan boleh berbuat atau berbicara seenaknya tanpa mengindahkan peraturan atau perasaan orang lain. Rasulullah saw mengajarkan bahwa dalam Islam, pendapat seorang pemimpin bukanlah sebuah doktrin yang ketika disampaikan harus langsung diterima sebagai kebenaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun