Mohon tunggu...
MEX MALAOF
MEX MALAOF Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tuhan Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Kakek Tua Nan Lusuh di Bawah Pohon Mangga

1 Desember 2020   06:28 Diperbarui: 1 Desember 2020   06:37 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, setelah makan malam bersama rekan-rekan sekomunitas, saya beranjak menuju ke sebuah warung sederhana yang letaknya tidak jauh dari biara kami berada. Saya hendak membeli keperluan mandi selama berada di atas kapal laut yang akan membawa saya berlayar menuju ke kampung halaman. 

Suasana jalan dari biara menuju ke warung itu agak sepi dan gelap. Tidak ada penerang yang terpasang di sana. Kurang lebih 100 meter dari warung itu, ada sebuah pohon mangga yang cukup rindang. Biasanya anak-anak muda gang itu nongkrong di sana. Tapi tidak untuk malam itu. Tak ada satupun yang menampakkan batang hidungnya di sana. 

Setelah langkah kaki saya mendekati pohon mangga itu, saya melihat seorang kakek duduk di sana. Saya kaget karena penampilan kakek tersebut seperti dalam dongeng-dongeng yang diceritakan ibuku. Kakek tersebut memakai sebuah kaos oblong kotor dan compang-camping. Celana yang dikenakannyapun demikian. Hanya selutut, kotor, dan sudah berlubang di mana-mana. Ia memakai sebuah topi anyaman yang sudah sobek dan di sampingnya ada sebuah tongkat kayu berwarna hitam.

Dalam suasana yang agak gelap itu, saya melihat si kakek sementara mencari-cari tutupan botol minuman air mineral yang masih bersegel. Nampaknya si kakek itu buta. Saya mendekat dengan maksud untuk membantu. Tapi si kakek itu menghentikan pencariannya dan segera mengambil tongkatnya lalu menghardik saya. "Jangan mendekat", kata si kakek. Saya ketakutan, lalu menghentikan langkah. 

Setelah diam sejenak, saya pun bersuara. "Kek, saya mau membatu kakek. Saya orang baik-baik. Saya dari biara di sebelah warung ini". "Baiklah kalau begitu. Tolong bukakan minuman ini untuk saya", pinta si kakek. Sayapun kembali mendekati kakek itu, lalu duduk tepat di hadapannya. Segera ia menyerahkan botol minuman itu, lalu saya membuka segel serta tutupannya, dan memberinya minum. 

Setelah menuangkan beberapa tegukan, si kakek lalu  mengambil sebungkus roti dari sampingnya. Roti itu belum terbuka. Nampaknya, ia baru mendapatkannya dari seseorang. Si kakek segera menyodorkan sebungkus roti itu dan meminta untuk dibukakan. Tanpa berpikir panjang, saya segera membukanya lalu mengambil sepotong dan menyuapkannya sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya sampai habis.

Setelah membantu si kakek, saya berniat kembali ke biara untuk mengambilkan sepiring nasi. Sebelum beranjak, saya merapikan kembali botol minum dan beberapa potong roti yang masih tersisa dan hendak menyerahkannya kepada kakek tersebut. Tapi si kakek melarang. "Minuman dan roti-roti itu untuk kamu", kata si kakek itu kepada saya. "Tidak kek. Ini untuk kakek. Kakek sangat membutuhkannya untuk besok", timpal saya. 

"Apakah kamu jijik dengan pemberian saya"? Jawab kakek lusuh itu. Mendengar jawaban itu, saya terdiam. Ada perasaan bersalah tapi itu bukan maksud saya. Saya bermaksud baik. "Tidak kek. Saya tidak jijik. Saya bermaksud baik. Biarlah makanan dan minuman ini untuk persediaan kakek besok. Saya punya makanan yang banyak", jawab saya. "Oh tidak. Makanan dan minuman saya lebih banyak", kata si kakek tak mau kalah. Akhirnya saya nurut dan membawa roti-roti serta minuman kakek tersebut.

"Kek. Kakek tunggu saya di sini ya, saya akan kembali ke biara untuk mengambilkan makanan dan minuman untuk kakek. Kakek jangan kemana-mana", kata saya sebelum beranjak. Si kakek itu hanya mengangguk tanda setuju. Dengan suasana hati bercampur aduk, sayapun segera berlari menuju biara. Tanpa berlama-lama, saya mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk, lalu kembali menemui si kakek. 

Kakek misterius itu masih setia menunggu di bawah pohon mangga. Segera saya duduk di sampingnya, lalu perlahan-lahan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Lelaki malang itu menguyah dan menelannya dengan perlahan. Nampaknya dia kepayahan. Walapun tidak sampai habis semua nasi yang saya siapkan, tapi saya merasa bahagia karena telah menolong kakek itu.

Setelah merasa cukup  kakek itupun pamit dan pergi entah kemana. Malam itu saya kembali ke biara dan tidak jadi membeli keperluan mandi. Pikiran saya kacau. Hati kecil saya terus bertanya, bagaimana jadinya kalau saya tidak menolong kakek itu dan sebaliknya berbuat jahat terhadapnya. Apakah kampung ini akan terjadi musibah?

Kisah nyata yang dialami penulis pada pertengahan tahun 2005.

SALAM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun