Mohon tunggu...
Maximillian KT
Maximillian KT Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pentingnya Penguasaan Berbagai Macam Bahasa

22 Juli 2022   02:34 Diperbarui: 22 Juli 2022   02:39 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.littleheartsbook.com

Di era yang modern ini barang siapa yang tak mahir berbagai macam bahasa maka sudah tentu ia akan tertinggal dan tergilas oleh kemajuan zaman. 

Memang tidaklah selalu perkataan ini benar sepenuhnya mengingat masih banyak di luar sana orang-orang yang hanya menguasai beberapa bahasa dan terbukti masih dapat survive atau bertahan di kehidupan ini. Mereka biasanya adalah para pembaca, pembelajar, penulis, sejarawan, dsb. yang memang 'memakan' buku-buku dan tulisan setiap harinya. 

Mereka terbiasa untuk berpikir dan menggunakan otaknya untuk menjalankan kehidupan sehari-hari mereka. Mengutip kembali lagi perkataan dari salah satu filsuf terkemuka keturunan Austria dan Inggris, Ludwig Wittgenstein: "The Limit of my language is the limit of my world." yang artinya bilamana diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: "Batasan bahasaku adalah batasan dari duniaku." 

Perkataan ini masih terus saya pegang dan ingat hingga detik ini. Sebagai pembelajar yang masih terus belajar, saya juga tertarik dengan kajian ilmu filsafat, sains, dll. 

Berbagai macam pemikiran tokoh-tokoh terkemuka baik modern dan masa lalu telah saya koleksi meskipun masih banyak yang harus saya pelajari. Sebagai seorang pembelajar, penulis, dan pembaca aktif, tentu saja kegiatan berpikir merupakan kegiatan sehari-hari saya. 

Dimana setiap detik dalam hidup ini saya gunakan untuk terus merenung dan berpikir. Sesuai dengan perkataan salah satu tokoh sains terkenal, Albert Einsten: "Whoever is careless with the truth in small matters cannot be trusted with important matters." yang artinya: "Siapapun yang tak peduli akan kebenaran meskipun itu dalam hal kecil maka ia tidak dapat dipercaya untuk hal-hal yang penting." dan "Be a loner, that gives you time to wonder, to search for the truth. Have holy curiosity. Make your life worth living." yang artinya: "Jadilah seorang penyendiri, itu memberikanmu waktu untuk mencari sebuah kebenaran, punyalah rasa keingintahuan suci(?). Jadikanlah hidup berarti." Namun kembali lagi terhadap berbagai macam pernyataan yang telah saya kumpulkan dari berbagai macam tokoh seperti kembali lagi kepada perkataan sang tokoh filsuf Ludwig Wittgenstein dalam bukunya In Search of Meaning Lutwig Wittgenstein on Ethics, Mysticism, and Religion yang diedit oleh Ulrich Arnswald yang pada dasarnya mengatakan bahwa secara objektif kebenaran itu tidak ada. Pemikirannya ini didasari oleh pemikiran tentang salah seorang filsuf eksistensialis terkenal dari Denmark. Ia juga seorang teolog pada masanya. Pemahaman Climacus, seorang biarawan kristen akan konsep Tuhan kemudian dielaborasikan dengan rinci dengan salah satu pernyataan: "

taking God to be amenable to some kind of empirical investigation or thinking that some sort of 'direct' relationship with Him is possible, is really nothing more than paganism. As he puts it:

If God had taken the form, for example, of a rare, enormously large green bird with a red beak, that perched in a tree on the embankment and perhaps even whistled in an unprecedented manner --- then our partygoing man would surely have had his eyes opened. [...] All paganism consists in this, that God is related directly to a human being, as the remarkably striking to the amazed. (Kierkegaard 1992, 245)"

Terjemahannya: "Membawa Tuhan untuk disetujui kepada seperti sebuah penyelidikan empiris atau berpikir bahwa semacam relasi yang 'langsung' dengan Nya adalah mungkin, itu tidak lain adalah sebuah paganisme (perihal (keadaan) tidak beragama; paham pada masa sebelum adanya (datangnya, masuknya) agama (Kristen, Islam, dan sebagainya). Dimana selanjutnya seperti yang ia katakan:

"Kalau Tuhan telah mengambil bentuk, seperti contohnya, dari yang langka, burung hijau yang sangat besar dengan paruh merah, yang bertengger di sebuah pohon di tanggul dan bahkan mungkin bersiul dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya-maka pria berpesta kita pasti akan membuka matanya. [...] Semua paganisme mengandung ini, bahwa Tuhan berhubungan langsung dengan manusia, sebagai yang sangat mencolok hingga yang kagum. (Kierkegaard 1992, 245)" "

Wittgenstein dan Kierkegaard karena itu setuju bahwa adalah suatu kesalahan untuk ingin menunjukkan keberadaan Tuhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun