Mohon tunggu...
Maximilianus Sipayung
Maximilianus Sipayung Mohon Tunggu... Freelancer - Welcome..

Semoga apa yang tertulis dapat berguna dan juga menghibur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kesepian adalah Kekuatan Part 2

22 Oktober 2019   14:48 Diperbarui: 22 Oktober 2019   15:19 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Jangan mati dulu ya. Soalnya ibu peri lagi beli minum." kata Putri.

Mereka kemudian tertawa dan aku hanya mengatur nafasku sambil menutup mataku karna silau. Kalau diliat -- liat mereka tidak jauh berbeda dengan Ancilla. Sama -- sama cantik. Apa bisa kudapatkan sekaligus? Aku hanya bisa tertawa dalam hati memikirkan itu semua. Dasar bodoh. Lelaki bodoh yang tidak berpikir panjang. Sudah sekarat masih aja begitu. Aku merasakan tubuhku masih lemas. Nafasku mulai teratur secara perlahan. Aku sudah sedikit tenang tapi tidak dapat menggerakkan badanku. Sepertinya sel -- sel darahku mulai merespon luka yang ada di tubuhku dan mulai melakukan regenerasi untuk menutup luka yang kurasakan. Tapi itu tidak ada gunanya. Lebam yang ada di wajah dan tubuhku masih sangat sakit.

            "Buka matamu. Ibu peri sudah datang." kata Dewi sambil tertawa.

            "Ancilla?"

            "Minumlah." katanya sambil memberikanku minuman dingin dari kantin.

            "Terima kasih."

            "Ini semua salahku sampai kamu jadi begini."

            "Bukan. Justru ini salahku. Pergilah sebelum mereka melihaku bersama kalian."

Aku merasa seperti pahlawan. Pahlawan kebodohan. Kenapa aku malah mengusirnya? Memang betul -- betul ketololan tingkat tinggi. Aku sudah membuang banyak darah hanya karena pengen berkenalan dengannya dan dia menolongku dan malah mengusirnya? Aku seperti ingin pingsan kembali. Mungkin bakal terulang kembali seperti tadi. Aku tidak habis pikir. Tetapi, aku tidak bisa lupa seperti apa wajah khawatirnya tadi. Aku tidak boleh berpikir aneh. Aku tidak boleh berharap. Tidak akan ada yang mau sama laki -- laki yang hanya jadi korban pemukulan sepanjang sekolahnya.

            Aku membersihkan luka yang ada di tubuhku di kamar mandi. Sangat perih rasanya. Lecet dan lebam dimana -- mana. Aku tidak bisa pura -- pura untuk tidak merasakan perihnya semua luka dibadanku. Aku mulai membersihkan satu per satu dari tanah dan debu yang lengket di lukaku akibat tergeletak di tanah tadi. Aku kemudian membersihkan bajuku dan celanaku. Penuh lumpur seperti anak kecil. Anak kecil yang mungkin mendapatkan peri seperti yang mereka katakan tadi. Setelah aku membersihkan diriku dan kuanggap itu bersih meskipun tidak maksimal, aku kembali ke kantin. Duduk sambil melihat sekeliling. Aku mulai memikirkan apa yang terjadi padaku tadi. Aku ingin tidur tapi malu. Masa tidur di kantin? Aku hanya menyenderkan badanku di tembok yang menjadi penyanggah punggungku. Aku minum sebotol air dan masih tidak dapat berpikir jernih. Mungkin air minum yang aku minum barusan palsu. Kalau jernih mana mungkin aku tidak dapat berpikir jernih setelah meminumnya. Masa bodoh. Aku lelah. Badanku sakit. Mungkin sedikit tidur dapat mengembalikan tenagaku.

            "Teng...Teng...Teng.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun