Mohon tunggu...
maximilianus leonardo
maximilianus leonardo Mohon Tunggu... Guru - Guru di SD Mentari Intercultural School Grand Surya

Tertarik pada dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Terakhir

18 Februari 2023   21:57 Diperbarui: 18 Februari 2023   22:02 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lusia masih berdiri di sisi jendela kamarnya. Memandangi hujan yang sangat deras mengguyur tanah dan seisinya. Lusia memandangi keadaan di luar rumahnya. Beberapa peristiwa hujan mengingatkan duka yang sangat mendalam dan menyisakan pengalaman yang tak pernah terlupakan dalam hidupnya. Di depan matanya terlintas beberapa peristiwa saat hujan turun.

Di hati Lusia, ada rindu yang sangat dalam pada ibunya. Ada banyak kenangan bersama ibunya saat hujan. Lusia sering kena hujan bersama ibunya saat pulang dari sawah, saat berjualan sayuran, pulang dari sekolah atau bermain. Kalau kehujanan berdua ibu, sampai rumah buru-buru mandi dengan air hangat, ibu membuat teh hangat untuk diminum berdua sambil duduk memandangi hujan dari dalam rumah.

Ayah Lusia telah lama meninggalkan keluarga, tak lama setelah Lusia lahir. Mungkin waktu itu Fauzia belum berusia satu tahun. Kata ibu, ayah pergi meninggalkan anak dan istrinya karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Dia pergi dengan perempuan kaya dan tinggal di kota lain. Lusia tidak ingin mencari laki-laki yang telah meninggalkan ibu dan keluarganya. Anggap saja ayah tidak pernah ada.

Sejak itu ibu banting tulang bekerja keras mencari uang untuk hidup bertiga. Ibu tidak mau pulang ke rumah nenek. Ibu tak ingin nenek susah dan ikut memikirkan kondisi perekonomian keluarga. Bukankah setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri.

"Jihan, pulang saja ke rumah ibu. Walau hanya makan dengan garam, pulanglah nak" bujuk nenek pada ibu. Tetapi ibu tetap tinggal di dekat Danau Dendam Tak Sudah, berkebun, menebas rumput, mencari kayu bakar, menjadi pembakar batu bata. Apapun ibu lakukan untuk menghidupi anaknya.

Ibu pernah diusir orang karena ibu belum ada uang untuk bayar sewa rumah. Pernah jatuh dari angkutan umum hingga sebulan lebih ibu tak bisa berjalan. Ibu tidak pernah mengeluh, ibu tidak pernah merasa lelah apa lagi mengeluh dan menangis. Ibu adalah perempuan kuat, tangguh dan semangat hidupnya sangat besar demi melihat anak-anaknya berhasil sekolah.

Banyak kisah duka yang  dialami Lusia ketika hujan turun. Waktu itu hujan sangat deras, Lusia dan ibu menyusuri pematang sawah sepanjang Danau Dendam Tak Sudah. Ingin secepatnya pulang dan tiba di rumah, tapi apa daya, sang hujan lebih dulu turun sebelum semuanya tiba di rumah. Berlarianlah, Fauzia dan kakaknya di depan, ibu. Beberapa kali ibunya berteriak, "cepatlah nak, lari nak, cepat nak pulang..."

Suasana waktu itu, langit gelap, tidak ada tempat berteduh. Angin kencang kilat sambar menyambar, tetapi kaki tetap melangkah dan terus melangkah dengan cepat sekuat tenaga. Karena pematang sawah yang licin, Lusia terjatuh. Kakak tertinggal jauh di belakang karena menggendong sayur dan menjinjing keranjang berisi botol air dan tempat makan serta barang-barang lain.

Ketika Lusia dan ibu tiba di tanah datar dekat rumah-rumahan sawah, ibu berteriak, "kakak cepat kak.." Tubuh telah basah dan suara terasa sesat.

Kakak membalikkan badannya karena melihat di belakangnya ada seekor anak kucing yang mengeong-ngeong seolah minta tolong. Kakak mengambil anak kucing yang menggigil kedinginan.

"Kakak cepat kak, cepat"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun