Pendapat senada  terungkap dalam "Leveraging Technology to Improve School Safety and Student Wellbeing (Advances in Educational Marketing, Administration, and Leadership" yang diedit seara bersama oleh Stehanie P. Huffman, Stacey Loyless, Shelly Albrtion dan Chalotte Green.Â
Pada halaman  30 dan 31 tertulis bahwa  teknologi yang diperkenalkan dalam konteks pendidikan kaum tertindas (pendidikan dalam ketakutan), adalah sebuah sistem kekuasaan dan kontrol. Itu bukan lagi perangkat, melainkan lebih sebagai sebuah proses substantif yang kita ciptakan untuk memperpanjang nafsu untuk mengendalikan..
Kasih = Dialog/Komunikasi
Jauh sebelum itu, Faucault (1989) menyatakan pendidikan berbasis teknologi  itu  memendam potensi negatif karena menghasilkan individu yang kenyal  dengan keahlian, dan cenderung menghidupkan  'techniques of the self': suatu teknik yang memungkinkan individu untuk mempengaruhi orang lain dengan cara dia sendiri dan dengan standar etis yang ditentukan sendiri pula.  Ia adalah manusia dengan keahlian mumpuni, namun miskin empati dan rasa kemanusiaan. Ia bak manusia robot yang tak punya hati.Â
 Oleh karena itu Faucault  mengingatkan,bahwa masyarakat -terutama lembaga pendidikan- tak usah  berangan-angan dapat membentuk manusia (peserta didik) menjadi pribadi yang bahagia dengan memperlakukannya seperti tat kala mereka mengembangkan teknologi yang mekanistis. Karena manusia pada hakekatnya berbeda dengan teknologi.
Yang mesti  dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah menerima peserta didik sebagai manusia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Kemudian,  ia mesti membiarkan  peserta didiknya (baik fisik mapun pskisnya) untuk  berkomunikasii dengan siapa saja, termasuk dengan para pelaku pendidikan yang menindas dan selalu menebarkan ketakuta.Â
Dalam konteks sekarang, komunikasi itu dapat dilakukan melalui dialog lisan, dialog melalui telepon atau teleconforence, menulis email, membuat dan berbagai rekaman video, dan berbagi melalui media sosial.
Namun, sebagaimana diingatkan oleh Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1968), komunikasi atau dialog hendaknya dilakukan dalam kasih. Sebab, kasih adalah dasar dari komunikasi/dialog.
Bahkan, kasih juga adalah komunikasi/dialog itu sendiri. Apabila seseorang tak mengasihi dunia; atau tidak mengasihi kehidupan; atau tidak mengasihi orang lain, maka dia pun tidak bisa masuk ke dalam komunikasi/dialog.
Jadi, 'cara terbaik' utama untuk mendobrak  pendidikan dalam ketakutan, adalah mengembangkan pendidikan dalam kasih.  Sebab kasih adalah satu-satunya energi yang mampu mendatangkan kebebasan/kemerdekaan sejati.
Pendidikan dalam kasih