E P I S O D E M E R A H
Hidup ini niscaya mengalir lancar, asalkan kita berdisiplin. Jangan tergoda untuk melanggar kedisiplinan atas jadwal, tidak malas, tidak curang, dan tidak… pacaran dulu. Yang terakhir itu sih, kata abah. Ia sudah wanti-wanti agar aku jangan berpacaran dulu.
“Ceri masih terlalu muda,” kata abah, sebuah alasan yang paling mudah dipahami oleh siapa pun juga. Dan untuk itu aku pun setuju.
“Jangan terburu-buru, pilihlah yang terbaik. Kamu masih punya banyak kesempatan, Ceri,” pesannya.
Jam dinding di ruang tengah berdentang dengan lantang, mengingatkan keberadaan sang waktu.
Lamun, akan tetapi, lamunan yang terjaga...
Sore itu uwak menghampiriku di dapur, kala aku asyik bertukar cerita dengan Iyet, pelayan di situ. Uwak mengajakku duduk di bangku pojok taman cafe. Seseorang menantiku di sana. Namanya Danang, dan lagak lagunya sangat simpatik bagi gadis lugu sepertiku.
Usianya terpaut sekitar 4 tahun lebih tua dariku. Menurut pengakuannya, ia bekerja sebagai pedagang dengan bisnis lini yang bervariasi. Bisa saja bulan ini ia menangani komoditas teh, mungkin bulan berikutnya berbisnis biji coklat olahan.
Tiba-tiba aku baru tersadar bahwa hidupku menjadi lebih indah, kicau burung murai menari-nari di telinga sepanjang hari. Ingin selalu tersenyum.
Kebahagiaan menyentuh sesuatu yang belum terjamah selama ini, maka kehadirannya pun serasa menikam kehampaanku selama ini.
Akan tetapi, di sisi lain, aku merasa melanggar kedisiplinan. Ah, aku mencoba menafikan sejenak hal tersebut.