Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berburu Belut sambil Menunggu Panen

15 Februari 2017   12:19 Diperbarui: 15 Februari 2017   17:56 3202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Bandi mengeluarkan belut dari dalam bubu (dok.pri)

Menjalani hidup sebagai petani pada zaman sekarang ini, apalagi kalau masih tergolong petani kecil, harus benar-benar ulet dan kreatif. Mereka yang tergolong petani kecil atau istilah asingnya peasantry ini biasanya nih dicirikan dengan modalnya yang pas-pasan,  keahlian bercocok tanam juga kurang, lahan sebagai tempat bercocok tanam tak begitu luas. Bahkan, tak sedikit dari petani kecil yang pernah saya jumpai di sebagian wilayah Kota Gresik hanya mengandalkan lahan jatah pamong desa (tanah ganjaran) yang disewanya dengan biaya murah.

Cuaca yang kurang bersahabat seperti meningkatnya intensitas curah hujan belakangan ini oleh sebagian kalangan sering ditunjuk sebagai penyebab terjadinya gagal panen beberapa jenis komoditas pertanian. Tak hanya melanda dunia pertanian, cuaca buruk juga mengakibatkan sebagian nelayan takut untuk melaut akibatnya hasil tangkapan ikan juga menurun dan hal itu menyebabkan harga ikan membumbung tinggi. Harga cabai rawit merah yang masih melambung tinggi kabarnya juga akibat cuaca buruk yang terjadi belakangan ini.

Apakah teori supply and demand (persediaan dan permintaan, red) masih dianggap relevan (berkaitan, red) dengan terjadinya kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok belakangan ini? Jadi, bukan hanya kondisi cuaca yang dijadikan kambing hitam atas menurunnya produksi pertanian dan perikanan dewasa ini.

Kadang sebagian petani kita bertindak kurang kreatif, pinjam istilah Madura, norok buntek (sok ikut-ikutan, red). Saat menentukan jenis tanaman yang akan ditanam saja mereka harus mengikuti kawan-kawan petani lainnya. Akibatnya, begitu panen tiba semua petani juga memanen jenis tanaman yang sama. Bila dikaitkan dengan teori supply and demand tentu saja menyebabkan harga komoditas pertanian itu menjadi anjlok karena barang tersedia dalam jumlah berlimpah sementara jumlah permintaan tak begitu banyak.

Berburu Belut ala Pak Bandi

Meningkatnya intensitas curah hujan bukan tidak mungkin menyebabkan terjadinya banjir. Bencana banjir tak hanya meluluh-lantakkan kawasan perumahan warga, tapi juga bisa menggenangi lahan persawahan yang ada. Tentu saja sebagian petani kita tak terkecuali petani kecil seperti Pak Bandi juga ikut menjerit kalau sawahnya terkena banjir akibat meningkatnya curah hujan.

Pak Bandi selama ini dikenal sebagai petani sayur. Jenis tanaman sayuran yang ditanamnya umumnya berumur genjah (cepat panen, red). Pada musim hujan sekarang ini, ia menanami lahannya yang tak begitu luas itu dengan tanaman sawi dan kangkung. Agar sawahnya tak tergenang banjir, ia tinggikan lahan tanamnya dan di sudut-sudut tertentu dari petak lahannya ia buatkan saluran drainase untuk membuang kelebihan air akibat derasnya curah hujan.

Meski tanaman yang dibudidayakan berumur pendek, toh masih saja ia harus menunggu. Nah, di saat menunggu panen tiba itu, ia manfaatkan waktunya dengan berburu belut. Petani tua asli Driyorejo – Gresik itu termasuk kreatif. Dengan tangannya sendiri, ia ciptakan bubu atau keramba bambu (istilah dia = wuwu atau krembu) sebagai alat untuk menangkap belut. Kebetulan tak jauh dari lahan pertaniannya terdapat hamparan sawah yang sudah sekian lama tergenang oleh banjir. Keramba atau bubu ia pasang di rawa-rawa atau sawah yang tergenang karena di situlah banyak berkumpul belut dan beragam jenis ikan air tawar lainnya.

Udan deres ngene malah ole welut akeh (kalau hujan deras seperti ini malah dapat belut banyak, red) cetusnya dengan napas agak tersengal-sengal akibat usianya yang sudah tua. Menurut pengalaman Pak Bandi, aliran air yang cukup deras akibat hujan turun beberapa jam di malam hari mengakibatkan belut-belut itu ikut terbawa arus air. Pada malam hari, belut keluar dari lubang sarangnya untuk mencari makan. Hewan bertubuh licin yang sepintas mirip ular itu sangat suka dengan bau makanannya yang menyengat seperti bau busuk atau amis.

Yuyu sebagai umpan belut (dok.pri)
Yuyu sebagai umpan belut (dok.pri)
Untuk itu, Pak Bandi menyiapkan yuyu (sejenis kepiting) yang sudah dimatikan terlebih dulu sebagai umpan untuk menangkap belut. Bangkai yuyu ditempatkan pada bagian dalam bubu, selanjutnya lubang bubu yang satu ditutup dengan rumput atau dedaunan semak lainnya yang dengan mudah ditemukan di sekitar rawa atau sawah. Sementara lubang bubu yang satunya lagi tetap dibiarkan terbuka agar belut bisa masuk dalam perangkap yang berisi bangkai yuyu tadi. Sore hari biasanya ia memasang perangkap belut di rawa atau sawah tergenang dekat petak lahannya. Keesokan harinya ia mendatangi kembali tempat-tempat di mana perangkap belut atau bubu ia pasang.  

Njebak sewengi kadang iso ole limang kilo welut (memasang perangkap semalam kadang bisa dapat lima kilogram belut, red),” ungkapnya sambil sesekali mengusap keringatnya. Untuk sekilo belut, ia jual dengan harga Rp 40 ribu. Kadang belutnya juga bisa laku Rp 60 ribu per kilonya. Menurut pengalaman Pak Bandi, umpan yang digunakan ternyata berpengaruh pada warna belut dan rasa dagingnya setelah dimasak. Meski ada pemburu belut yang menggunakan umpan lain seperti jeroan atau usus ayam, ia yakin bahwa yuyu adalah yang paling cocok untuk menangkap belut. Bau bangkai yuyu sangat disukai belut. “Yo iku terserah sing nggolek welut (ya itu terserah yang cari belut, red),” demikian pungkasnya.

Ketika banyak petani kebingungan dengan datangnya musim hujan yang sering mengakibatkan tergenangnya sebagian lahan pertanian milik mereka atau menurunnya produksi tanaman karena rusak terkena air hujan, berbeda dengan Pak Bandi. Meski hujan deras sering mengguyur lahannya yang tak begitu luas itu, tetap saja ia nrimo ing pandum (menerima secara ikhlas pemberian dari Yang Mahakuasa, red). Ia mengisi hari-harinya sampai tiba waktunya panen dengan mencari obyekan yang lain, yakni berburu belut yang kemudian dijual untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari.

Belut hasil perangkap semalam (dok.pri)
Belut hasil perangkap semalam (dok.pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun