Mohon tunggu...
mprbwn_
mprbwn_ Mohon Tunggu... Lainnya - Ù…

Aku seorang penakut. Lalu, Pram pernah berkata "menulis adalah sebuah keberanian"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menilik Implementasi Nilai Kepesantrenan dalam Memoar Gus Dur

31 Desember 2021   00:09 Diperbarui: 31 Januari 2022   17:16 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (kanan) tertawa ketika berbincang bersama Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) KH Cholil Bisri dalam Musyawarah Pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin (10/6).(Kompas/Agus Susanto)

Berbagai kalimat-kalimat dari Gus Dur berserakan di media sosial, ada yang bertema demokrasi, humanis, keadilan gender, agama, dan masih banyak lagi. Sangat mudah mencarinya di internet terlebih membacanya saja. 

Pertanyaannya, sudah sanggupkah kita para muridnya melanjutkan dakwah sang guru mulia tersebut? Mulailah dari perkara sepele! Gemingkan dakwah sedikit demi sedikit, tidak akan lama kebiasaan sedikit-sedikit berdakwah akan muncul.

Juang literasi di pesantren

"Jika kamu bukan anak raja, bukan juga anak ulama besar, maka menulislah". Memang keliru apabila memandang remeh wasiat dari Imam Al-Ghazali tersebut, sedang Gus Dur sebaliknya, beliau sukses menjalankan wasiat tersebut bahkan memindahtangankan kepada rakyatnya. Sebab, Gus Dur mengetahui bahwa tidak ada separuh orang Indonesia merupakan anak ulama besar apalagi anak raja.

Tidak heran melihat berbagai tulisan Gus Dur berhamburan, ada yang berupa kolom, esai, dan buku. Kelihaian Gus Dur dalam menulis tersebut tentunya hasil tempa dari ngangsu kaweruh sebelum akhirnya memulai kiprah menjadi jurnalis dan andil di berbagai media cetak.

Ketahuilah, di pesantren, budaya membaca dan tulis-menulis sangat eksis dengan berbagai kisah, terutama dari ulama terdahulu. Tidak adanya media sosial dan toko buku bebas di area pesantren membuat para santri haus akan membaca. 

Dalam keseharian mengaji para santri tak lepas dari buku dan pena yang siap memindahkan dawuh gurunya ke kertas. Membentuk antrean panjang meminjam buku, hingga menerbitkan buku karya sendiri, seperti buku-buku terbitan Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Sarang, dan pesantren lainnya.

Sebagian dari banyak nilai-nilai kepesantrenan di atas yang Gus Dur hidupkan dalam kiprahnya menjadi figur ulama dan tokoh demokratis merupakan refleksi batin yang jangan pernah kita lupakan. Paling tidak, sebagai bentuk khidmah kepada Presiden mulia yang nyata berdiri di atas kebenaran.

Sejarahnya, Gus Dur yang potretnya berada di sebelah kanan Wakil Presiden hanya 21 bulan, tak patut apabila mengenakan sarung saat pidato di Istana Negara.

Toh, tak ada salahnya menjadikan "jas Presiden" sebagai formalitas pengabdian atas ilmu, guru, dan negara. Sebab, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan". [K.H. Abdurrahman Wahid]

Wallahu a'lam bi al-shawab!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun