Mohon tunggu...
Mauludiyah nurul izzah
Mauludiyah nurul izzah Mohon Tunggu... Guru - seorang mahasiswa

seorang mahasiswa universitas negri malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksistensi Pengemis di Kota Malang

28 November 2019   16:05 Diperbarui: 28 November 2019   16:20 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan di Indoneisa kian merajalela. Berdasarkan UUD pasa 34 ayat 1 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak terlantar diperilahara oleh Negara". Artinya, negara bertanggung jawab untuk memeliharanya. Namun realita yang terjadi masih banyak orang dewasa dan anak-anak yang terlantar dijalanan sehingga harus menuntut mereka untuk mengemis agar dapat bertahan hidup. Pengemis merupakan salah satu bagian dari tata kehidupan masyarakat kota malang, dimana fenomena pengemis dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlahnya. Dapat kita jumpai diberbagai tempat keramaian seperti pasar,terminal, dan stasiun. Berdasarkan hasil studi lapangan menunjukan bahwa maraknya pengemis di kota malang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: usia lanjut, keterbatasan ekonomi, cacat tubuh, dan minimnya lapangan kerja yang dapat diakses oleh tenaga yang tidak terampil dan berpendidikan. Mereka tidak mampu berkompetisi dibidang formal, karena pendidikannya yang rendah.

Metode pengumpulan data dalam melakukan penelitian  mengunakan pendekatan  kualitatif yaitu wawancara, dokumentasi, studi literatur. Wawancara adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara tanya jawab langsung terhadap narasumber. Narasumber tersebut merupakan pengemis yang berasal dari kota Malang, terdiri dari 6 orang dengan rentang usia 41- 63 tahun.  Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang didapat melalui pengambilan gambar berupa foto pada saat  wawancara berlangsung untuk mendapatkan bukti dan keterangan yang akurat. Studi literatur adalah sebagai landasan teori dalam menganalisa dan mengakaji dari topik yang diangkat oleh peneliti. Studi literatur diperoleh melalui sumber jurnal, dan internet.

Realita sosial ditengah masyarakat pengemis memiliki sisi lain yang tidak semua orang ketahui. Berdasarkan penelitian hasil dari wawancara yang kami lakukan di kota malang diperoleh data sebagai berikut :

(Ibu Kamsiyah 65 tahun) seorang pengemis yang berasal dari Gadang Kabupaten Malang. Beliau berangkat ke Kota Malang untuk mengemis mulai pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB pulang pergi dengan menggunakan angkot. Alasan mengemis karena beliau tidak memiliki mata pencaharian tetap untuk mempertahankan hidupnya.

"Suami saya sudah meninggal lama sejak tahun 2002, sejak 8 bulan terakhir ini anak saya tidak pernah mengunjungi saya lagi sehingga saya harus mencari pekerjaan untuk mempertahankan hidup dan saya tidak memiliki keahlian apapun akhirnya yang saya bisa hanya mengemis"

Tempat Ibu Kamsiyah mengemis yaitu di depan toko baju "TRAND" beliau selalu mengemis ditempat itu setiap harinya.

 "Hasil yang saya dapat ya tidak pernah menentu setiap harinya paling banyak 60-65 ribu  setiap harinya" 

(Pak Edi 40 tahun)seorang pengemis badut keliling yang berasal dari Lawang, beliau sudah berkeluarga dengan memiliki 3 orang anak, yang kesemuanya masih bersekolah, dan membutuhkan banyak uang untuk kebutuhan sekolah dan kebutuhan sehari keluarganya.apapun beliau kerjakan.

"Opo-opo tak lakono mas, seng penting halal. Damel keluarga sedoyo kulo ikhlas ngalakono mas"

Bekerja sebagai badut keliling, berangat dari lawang pagi jam 08.00 WIB dan berkeliling menggunan kostum badut, kostum yang didapatkannya dengan cara membeli, beliau termotivasi karena banyak melihat konten-konten yang berada di media sosial. Setiap hari pendapatannya tidak menentu, karna mengandalkan pemberian dari orang lain, sekitar 70-80 ribu rupiah.

Tempat berelilingnya tidak menentu, kadang berada di Kota Malang, tak jarang beliau juga berkeliling di kepanjen, dampit, bahkan turen.

Sebelum bekerja sebagai badut keliling beliau pernah bekerja sebagai penjual rangin, buruh bangunan, dan kemudian menjadi badut keliling, berprofesi sebagai badut ini kurang lebih dilakoni beliau selama 1 tahun terakhir ini.

(Pak Arto 49 tahun) merupakan pengemis yang berasal dari Kediri, beliau memiliki keluarga yang berada di Kabupaten Malang tepatnya di Turen. Beliau ini mengemis tidak hanya di Malang, tapi juga berbagai kota di daerah Jawa Timur. Pak arto memiliki kelainan penyakit gatal-gatal di kakinya yang sebelah kanan, yang sering ia sebut dengan gatal kurma, pernah di bawa ke rumah sakit untuk di obati karena keterbatasan biaya pengobatan tersebut tidak berlanjut. Karena rumah saudaranya yang lumayan jauh dari tempat ia mengamen akhirnya dia setiap malam tidur atau istirahat di emperan toko yang ada di dekat Kota Malang, dan beberapa hari yang lalu sebelum kami melakukan wawancara beliau mendapat musibah kecopetan pada waktu jam 3 pagi.

 " dari hasil saya mengamen juga tidak seberapa mas itu hanya dapat digunakan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, saya menjadi pengamen juga karena tidak ingin menggantungkan hidup ke orang lain jado dengan keterbatasan yang saya miliki saya berusaha dapat mencukupi kebutuhan sendiri. Penghasilan saya juga tidak menentu paling banyak seharinya 80-100 ribu" tutur pak Arto.

Kemudian pada saat melakukan studi lapangan di jl soekarno-hatta kita bertemu ibu Siti beliau berumur 45 thn berasal dari Purwodadi,pada pukul 20.00 WIB beliau ingin pulang kerumah tetapi tidak mendapatkan angkot, setelah berbincang bincang cukup lama beliau mengatakan bahwa beliau adalah tulang punggung keluarga, suaminya sudah meningal 6 tahun yang lalu, memiliki 6 orang anak yg 3 sudah berkeluarga dan yang 3 masih bersekolah.

(Mak Jati 49 tahun) ia adalah pengemis asli malang yang biasanya mangkal di sekitarpasar besar. Ia lebih memilih menjadi seorang pengemis karena lapangan pekerjaan yang sulit di dapatkan,selainitu ia juga merupakan tulang punggung keluarga yang harus memenuhikebutuhannya sehari hari.

Selain mak Jati, Mak Sarmi juga merupakan seorang pendatang yang ingin mengadu nasib dikota malang namun tidak ada yang dapat ia lakukan dikota sebesar malang selain mengemis dan mengumpulkan botol bekas. Beliau berasal dari blitar tepatnya di wlingi. Usia mak sarmi saat ini 72 tahun. Beliau berkata

" ora due opo-opo mas seng tak deweni mung waras"

Alasanya datang ke malang juga karena dikota asal beliau tidak memiliki tempat tinggal sejak suaminya meninggal tahun 2005 dan ditinggal semua anaknya karena anaknya sudah berkeluarga. Hasilnya dari pengumpulan botol mak sarmi di jual ke pengepul yang ada di daerah sukun, ketika menjual ke pengepul beliau berjalan kaki upahnyapun hanya 1000rupiah. Ketika ditanya penghasilan yang didapat hanya sebesar itu bagaimana beliau bisa makan. Jawaban beliau adalah

" ya saya makan seadanya lebih-lebih mengharap ada orang baik yang mau memberi makan orang tidak punya seperti kalian".

Jadi dari paparan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa  Umur yang sudah tua sehingga tidak ada pilihan lain selain mengemis, lapangan pekerjaan saat ini dirasa sangat sulit dan kebutuhan hidup semakin hari kian meningkat. Ditambah lagi Kepastian hukum yang tidak jelas, pemerintah seharusnya dapat menjamin kehidupan orang tidak mampu. Namun faktanya tidak demikian  Umur yang sudah tua sehingga tidak ada pilihan lain selain mengemis                                                                                     

Oleh : Harits Abdullah Umar, Moh Fadllil Adhim, Mauludiyah Nurul Izzah, Mokh Husni Mubaroq, Puput Indawati, Surrotul Hasanah, Vina Yuliana, Windy Sastri Febriana -- Prodi S1 Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negri Malang.

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun