Mohon tunggu...
Maulana M. Syuhada
Maulana M. Syuhada Mohon Tunggu... lainnya -

Founder Tim Muhibah Angklung https://www.angklungmuhibah.id Buku: 40 Days in Europe (2007), Maryam Menggugat (2013), The Journey (2019)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

[JTS#1] Kalau Benci Sudah Membuta (Bagian 1)

15 Maret 2019   03:14 Diperbarui: 15 Maret 2019   04:59 4569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Jokowi dan Prabowo | Foto: Tahta Aidila/Republika

Banyak diantara kita yang memilih diam, tidak mau terlibat percakapan politik, demi untuk menjaga tali silaturahmi. Tidak jarang tali pertemanan, persaudaraan, harus putus hanya karena Pilpres ini. Berapa banyak dari kita yang "unfriend" pertemanan FB atau "left" group WA karena masalah Pilpres ini. Sudah tak terhitung berapa teman yang bercerita bagaimana WA grup keluarga mereka terpecah karena beda pilihan.

Antara paman dengan keponakan, antara bibi dengan sepupu, antara mertua dengan menantu, antara adik dan kakak ipar, bahkan antara anak dengan orang tua. Itu di level keluarga yang notabene punya hubungan darah. Belum lagi di WA-WA grup lainnya, pertemanan SD, SMP, SMA, kuliah, pekerjaan, komunitas, dan seabreg grup-grup lainnya.

Kita tentu masih ingat peristiwa nenek Hindun yang jenazahnya tidak disholatkan di mushalla warga karena berbeda pilihan politik pada Pilkada DKI [3]. Tak heran kalau baru-baru ini kita mendengar, ada seorang driver ojek online yang tak sungkan-sungkan menurunkan penumpangnya karena berbeda pilihan capres [4]. Indonesia tidak pernah se-terbelah ini.

Sebagian teman sempat curhat kalau mereka punya dilemma. Kalau mereka menampakkan pilihan politiknya, maka itu akan mengganggu hubungan mereka, bukan hanya dengan teman, tapi dengan relasi-relasi yang terkait dengan pekerjaan. Begitu kita saling tahu pilihan politik kita, tidak jarang sebagian kita langsung merasa "ill-feeling" (bad feeling) satu sama lain, atau bahasa anak sekarang, "ilfil".

Sudah beberapa tahun ini, saya membina grup angklung yang anggotanya mayoritas remaja SMA dan mahasiswa tingkat awal (16 -- 19 tahun). Mereka ini punya orang tua. Saya sadar orang tua-orang tua mereka punya pilihan politik. 

Karenanya saya tidak pernah sekalipun membahas masalah politik ketika bertemu mereka. Jangankan di forum, bertemu pribadi pun saya tidak pernah bicara politik. Khawatir terjadi "ill-feel" jika berbeda pilihan. 

Saya tidak mau keharmonisan tim terganggu hanya karena Pilpres. Tim angklung punya tujuan mulia untuk melestarikan dan mempromosikan angklung ke dunia internasional. Akan sangat menyedihkan kalau itu rusak hanya gara-gara Pilpres. 

Namun, hari demi hari, hoaks semakin meraja lela, kata-kata kasar, saling caci lambat laun semakin membudaya di masyarakat kita. Orang-orang yang tadinya terlihat pendiam dan santun, sekarang menjadi penggunjing, penyinyir dan bahkan pencaci-maki. Kosa kata dungu, tolol, goblok semakin mudahnya keluar dari mulut kita. 

Orang-orang yang tadinya terlihat baik dan alim, sekarang menjadi penyebar hoaks dan fitnah. Bangsa yang santun ini bukan hanya berubah jadi bangsa yang pemarah, penyinyir dan pencaci-maki tapi juga menjadi bangsa pembohong. Kita sudah tidak peduli lagi dengan benar tidaknya suatu berita, asalkan itu memuaskan hawa nafsu kita, kita sebarkan. Penyebar berita bohong tak ubahnya adalah pembohong juga.

Bagi saya kejujuran adalah prinsip utama yang tidak bisa ditawar-tawar. Saya senantiasa menerapkan "zero tolerance" bagi ketidakjujuran. Sekali seseorang memberikan toleransi atau 'excuse' (pengecualian) terhadap ketidakjujuran, maka integritasnya sudah hancur, karena setelahnya kita tidak pernah tahu, apakah ia sedang jujur atau sedang menerapkan "excuse" untuk tidak jujur. 

Ia bisa saja berdalih dengan sederet "excuse" untuk menjustifikasi kebohongannya. Karenanya saya senantiasa memegang prinsip honesty is the best policy. Kejujuran ini yang bisa memberikan "trust" (kepercayaan) kepada siapapun yang berhubungan dengan kita dan membuatnya nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun