Mohon tunggu...
Resa Maulana Wijanarko
Resa Maulana Wijanarko Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta

Gamer, Fotografer, Video Editor. Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Wabah Plagiarisme di Media Massa

26 Oktober 2020   08:01 Diperbarui: 26 Oktober 2020   21:31 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor The New York Times | Photo by Stphan Valentin on Unsplash 

Namun, sebelum bahasan lebih mendalam, kita perlu memahami apa itu plagiat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat adalah "Pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri."Definisi itu hampir serupa dengan contoh dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers.

Panduan dari organisasi jurnalis Amerika Serikat Society of Professional Journalists menganjurkan dua hal agar terhindar dari tindakan plagiat. Pertama, seorang jurnalis mesti menyebut sumber informasi atau kutipan. Panduan itu juga menyarankan jurnalis untuk benar-benar memahami bahasan berita agar dapat menyampaikan informasi dengan kata-kata sendiri.

Meski begitu, tekanan kerja terus-menerus dalam tuntutan mengejar artikel serta kemudahan pencarian informasi dari internet sering mendorong jurnalis untuk menjiplak.

Norman Lewis dan Bu Zhong dalam jurnal berjudul "The Root of Journalistic Plagiarism: Contested Attribution Believed" menyingkap praktek penyebutan keterangan sumber yang berbeda-beda. Mengutip sebuah penelitian lain pada 2006, jurnal itu menulis lima media terkemuka Inggris jarang sekali memberi kredit dalam berita kutipan dari Press Association.

Sementara, sebuah studi lain meneliti 1.603 artikel di sepuluh situs dari Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, dan Amerika. Hasil studi itu menyatakan, hanya 29% berita yang menuliskan sumber informasi mereka.

Seorang mantan editor surat kabar, Bob Giles menyarankan, tiap media mestinya membuat kebijakan penulisan sumber berita untuk menghindari label plagiat. Namun, surat kabar yang memiliki panduan dan kebijakan terkait juga tak selalu berhasil menerapkannya.

The New York Times adalah salah satu media yang menyebutkan keharusan menuliskan sumber berita dalam panduan internal mereka. Akan tetapi, mereka berkali-kali gagal menerapkan panduan mereka sendiri.

Karena perbedaan definisi itu, tindakan plagiat sering luput dari hukuman sepatutnya dan merata. Bila seorang wartawan dianggap berbakat kedapatan melakukan plagiat, ia tak akan dihukum berat. Jurnalis Columbia Journalism Review David Uberti mencatat, penulis terkenal Fareed Zakaria puluhan kali kedapatan menggunakan informasi dari sumber lain tanpa atribusi. 

Namun, ia hanya mendapat penangguhan kerja satu bulan. Saat ini, ia masih menjadi penulis kolom dan pembawa acara di surat kabar dan stasiun televisi Amerika.

Plagiarisme di Indonesia

Di Indonesia, tak ada penelitian sistematis mengenai praktek plagiat di kalangan wartawan. Namun, sebuah esai di Remotivi dapat memberi sedikit gambaran. 

Esai itu ditulis seorang wartawan magang di Riau bernama Ihsan Yurin. Ihsan bercerita, selama magang sebagai wartawan ia pernah menjadi korban tindakan plagiat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun